Laman

Selasa, 15 Desember 2015

PARADIGMA PROPHETIK SEBAGAI PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh :Abdullah Fikri

Problematika kebangsaan Indonesia dewasa ini semakin meningkat. Di antaranya adalah persoalan kesejahteraan sosial. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial merupakan salah satu dari tujuan negara Indonesia, yang tercantum dalam UUD 1945 yang bersumber dari Pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa, hendaknya menjadi pedoman dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara. Rumusan Pancasila yang diawali dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan diakhiri dengan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” memiliki semangat kenabian. Sebagai umat Islam, hendaknya kita merefleksikan kembali semangat kepemimpinan Nabi pada masa negara Madinah yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Prof. Kuntowijoyo mengemukakan tiga prinsip ilmu sosial prophetik (kenabian), yaitu humanis, liberasi, dan transendensi. Pertama, humanis. Humanis bermakna bahwa manusia memiliki derajat dan martabat yang tidak boleh direndahkan. Dengan kata lain, kita harus bersikap memanusiakan manusia. Dengan demikian, manusia akan memiliki rasa keadilan dan keberadaban. Dengan bersikap “memanusiakan manusia”, maka kita tidak akan memandang sebelah mata kepada orang lain. Dalam konteks kenegaraan, sikap sebelah mata dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang dibuat atas suatu persoalan. Kedua, liberasi. Liberasi bermakna bahwa sebuah negara harus mampu membebaskan masyarakatnya dari belenggu-belenggu kemiskinan dan penjajahan. Penjajahan dalam konteks ini bukan hanya penjajahan dalam arti kolonialisme fisik. Akan tetapi, penjajahan dengan menggunakan penyebaran atau propaganda-propaganda ideologi barat terhadap Indonesia. Selain itu, penjajahan juga dapat berupa penjajahan ekonomi. Penjajahan ekonomi dapat diartikan bahwa perekonomian bangsa Indonesia saat ini kurang mampu untuk menyejahterakan rakyatnya. Hal ini disebabkan karena paham kapitalisme sudah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan bisnis bangsa Indonesia, sehingga masyarakat kecil semakin terhimpit. Penjajahan dapat dilakukan oleh negara lain dan bisa juga dilakukan oleh bangsa sendiri. Masyarakat Indonesia saat ini, dapat dikatakan mengalami penjajahan oleh bangsa sendiri. Bangsa yang dimaksud adalah para pejabat yang melakukan korupsi atas kekayaan negara. Kekayaan negara sebenarnya untuk kehidupan rakyat, justru dikorup oleh pejabat-pejabat yang telah memiliki kekayaan dan kedudukan. Namun demikian, korupsi di Indonesia semakin merajalela. Hal tersebut dikarenakan moral politik para pejabat di Indonesia sangat lemah. Jika suatu pejabat telah megalami kelemahan moralitas, maka perilaku dalam memimpin suatu negara pun akan tidak baik. Inilah realita bangsa Indonesia yang harus dirubah, baik secara individu maupun secara sistem. Ketiga, transendensi. Prinsip yang ketiga ini bermakna bahwa manusia tidak lepas dari unsur-unsur transenden. Artinya, manusia tidak dapat lepas dari campur tangan Tuhan. Oleh sebab itu, dalam konteks sosial-politik, para pemegang kebijakan harus berpegang teguh pada etika politik dengan menyandarkan segala apa yang diperoleh, baik jabatan, harta, sanjungan, tidak akan bertahan lama. Apabila para pemegang kebijakan telah melekat kepada Tuhannya, maka perilaku politik akan lurus dan tidak menimbulkan kesengsaraan rakyat. Dalam konteks ini para pemimpin dapat menerapkan kaidah “tasharuful imam ‘alaa rra’iyyah manuthun bil mashlahah”, artinya kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harus berdasarkan pada kemaslahatan rakyatnya. Dengan demikian, keadilan dan kemanfaatan dari kebijakan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Banyaknya kasus korupsi dan masih lemahnya penegakkan hukum di Indonesia, khususnya terhadap kasus-kasus korupsi yang besar, menunjukkan masih lemahnya moralitas kebangsaan. Apabila moral politik suatu bangsa telah baik, maka sebesar apapun dan siapapun pelakunya, akan ditindak secara tegas. Pengaruh “siapa yang korupsi” masih menjadi belenggu bagi para penegak hukum di negara ini. Selain itu, penegakan hukum pandang bulu masih terjadi. Banyak kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin, dan dihukum dengan tegas. Sedangkan banyak kasus besar yang merugikan bangsa, namun penegakan hukumnya lamban. Inilah bukti bahwa diskriminasi atas perlakuan hukum masih terjadi. Lalu pertanyaan yang muncul adalah “bagaimana menanggulangi kasus-kasus korupsi yang sudah menjamur?.” Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab secara serta-merta, karena kita harus melihat dari berbagai sudut pandang. Namun, setidaknya moral politik para pejabat harus dibenahi. Urusan moral tidak dapat dipaksakan dari eksternal pribadi mereka. Moral hanya bisa dibentuk dari internal pribadi mereka. Secara eksternal kita telah memiliki badan kode etik, aturan-aturan yang mengedepankan etika pejabat, dan hukuman yang telah dirumuskan dengan baik. Namun selama internal pribadi mereka tidak berupaya untuk melakukan perubahan, maka moral politik tidak akan terbentuk dengan baik. Oleh sebab itu, paradigma sosial prophetik dapat dijadikan dasar dalam pembentukan moral politik bangsa ini, agar kasus-kasus korupsi dapat diminimalisir.

Kamis, 19 Februari 2015

URGENSI PENDIDIKAN TINGGI INKLUSIF di INDONESIA

Isu-isu difabelitas • Isu mengenai difabilitas semakin lama semakin mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai kalangan, baik masyarakat, sivitas akademik, maupun pemerintah Isu-isu difabelitas • persoalan politik, kesehatan, lapangan kerja, hukum, dan pendidikan. pendidikan • isu pendidikan inklusif di perguruan tinggi kaum difabel memiliki hak untuk mengakses pendidikan tinggi Hambatan • adanya kampus yang tidak mau menerima difabel • tidak terjangkaunya biaya pendidikan, • aksesibilitas kampus yang masih minim, baik sarana prasarana pembelajaran maupun bangunan fisik yang sulit diakses, d • an masih adanya pandangan negative dari sebagian besar masyarakat. Konsep Pendidikan Inklusif dan Urgensinya di Perguruan Tinggi • Pendidikan merupakan sebuah proses internalisasi nilai-nilai, baik dilakukan melalui pendidikan formal maupun non formal. Proses internalisasi nilai-nilai tersebut berhak dimiliki oleh setiapn individu, terlepas dari berbagai macam latar belakang social, etnis, golongan, ras, agama dan hambatan fisik maupun mental • pendidikan adalah gejala manusiawi yang mendasar dalam kehidupan manusia, dan merupakan bentuk ”bimbingan eksistensialis manusia dan bimbingan autentik”, yang bertujuan untuk membentuk kepribadian diri agar dapat berperan serta dalam pembangunan masyarakat dan negara, serta mampu membangun peradaban dan kebudayaan manusia, baik dalam lingkup nasional maupun dunia internasional. (Kartono, 1997). • pendidikan juga dapat dipahami sebagai upaya mempelajari proses pembentukan kepribadian manusia, yang dirancang secara sistematis melalui interaksi pendidik dan peserta didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. (Fattah, 2004). Pendidikan inklusi • Lahirnya pendidikan inklusi, berangkat dari pemahaman perspektif difabilitas yang terus berkembang. Hingga dewasa ini, dalam diskursus mengenai difabilitas terdapat dua perspektif yang dominan. Kedua perspektif tersebut adalah medical model dan social model. (Oliver, 1996). • medis/medical model; Dalam paradigmaa ini, kecacatan/impairment dianggap sebagai tragedy personal. • kecacatan/impairment tersebut merupakan suatu permasalahan individu yang menyebabkan terhambatnya aktifitas dan selalu mendapatkan ketidak beruntungan dalam social masyarakat. • Akibat perspektif medis ini, kemudian dalam dunia pendidikan dikenal dengan pendidikan segregasi, yaitu system pendidikan yang menyatukan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam satu satuan pendidikan khusus, (SLB). • model social (social model); paradigmaa ini menyatakan bahwa ketidak mampuan kaum difabel dalam melakukan aktifitas dan interaksi social bukan semata-mata hanya karena factor hambatan yang ada pada individu tersebut. • perspektif ini lebih mengutamakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia • Berdasarkan teori tersebut, maka dalam dunia pendidikan diterapkanlah system pendidikan inklusif (education for all). • Dari dua teori di atas, maka paradigmaa model social merupakan paradigmaa yang relevan untuk mewujudkan pendidikan tinggi inklusif di Indonesia 4 prinsip menyelenggarakan pendidikan inklusi • isu hak asasi dan kesetaraan (equality) • menghargai bahkan merayakan perbedaan (celebrating the differences) . • Inklusi tidak bertujuan untuk memainstreamkan peserta didik ke dalam system yang tidak diubah. Sebaliknya, inklusi bertujuan mengubah system untuk bisa memenuhi kebutuhan semua peserta didik.” • Inklusi harus berbasis masyarakat. (Ro’fah, 2010). urgensi pendidikan tinggi inklusi • Aspek Filosofis-politis • Aspek Yuridis • Meningkatnya jumlah sekolah inklusi pada tingkat dasar dan menengah. • Aspek Pekerjaan • Mengubah stikma masyarakat. Ukuran inklusifitas lembaga pendidikan • pendidikan inklusi harus mempertimbangkan afordabilitas • Akseptabilitas • akomodasi/aksesibilitas • Aksesibilitas meliputi asesibilitas bangunan kampus, aksesibilitas layanan administrative, dan aksesibilitas akademik. Aksesibilitas bangunan kampus adalah kemudahan mahasiswa difabel untuk mengakses bangunan kampus. • pendidikan inklusif proaktif untuk melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan peserta didik (difabel), sehingga dari identifikasi tersebut dapat diketahui kebutuhan-kebutuhan yang harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan, sehingga hambatan-hambatan peserta didik dalam berpendidikan dapat diminimalisir bahkan dapat terhapuskan. Refleksi Kebijakan Pendidikan Tinggi Pengalaman Menjadi Mahasiswa di Kampus Inklusi Kesimpulan • bahwa pendidikan inklusif di perguruan tinggi sangat urgen untuk diterapkan. • Hal-hal yang perlu dibangun dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi inklusif saat ini adalah: paradigma “education for all” yang harus dipahami oleh segenap sivitas akademik, instrument kebijakan, aksesibilitas, dan motifasi serta kemandirian yang baik dari mahasiswa difabel itu sendiri