Laman

Senin, 03 Februari 2014

OTONOMI SETENGAH HATI


OTONOMI DAERAH SETENGAH HATI
Oleh: Abdullah Fikri

Amandemen UUD 1945 yang disahkan secara empat tahap, memberikan perubahan yang sangat besar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan yang sangat mempengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia adalah perubahan dari sistem sentralistik menuju sistem desentralistik. Sistem sentralistik dianggap sebuah sistem yang tidak demokratis. Hal tersebut dikarenakan seluruh kegiatan pemerintah daerah ditentukan oleh kebijakan-kebijakan pusat, sehingga daerah tidak dapat berekspresi sesuai dengan keinginannya. Dengan adanya anggapan seperti itu, maka salah satu dampak dari terjadinya reformasi adalah memberikan aturan mengenai otonomi daerah dengan sistem desentralistik.
Apabila dikaji lebih mendalam, sistem otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia menggambarkan sistem negara federal. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (2), yang memberikan kebebasan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, untuk mengatur urusan pemerintahan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, dalam ayat (5), konstitusi telah memberikan otonomi yang seluas-seluasnya, kecuali urusan yang ditetapkan menjadi urusan pemerintah pusat. Pernyataan  “otonomi seluas-luasnya” dapat dimaknai bahwa pemerintah daerah mengatur segala urusan yang ada di dalam derah itu tanpa batas, tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah pusat hanya berwenang terhadap enam urusan yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 10 ayat (3). Keenam urusan tersebut adalah: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,  dan  agama.
Meskipun daerah telah diberikan otonomi yang seluas-luasnya, namun pemerintah pusat tidak begitu saja melepaskan daerah-daerah untuk mengatur urusannya sendiri-sendiri. Pengawasan pemerintah dilakukan dengan asas dekonsentrasi. Dekonsentrasi tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah provinsi yang bertugas untuk mengontrol pemerintah daerah kabupaten dan kota sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Adanya asas dekonsentrasi semacam itu, menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah daerah provinsi tidak memiliki kewenangan apapun terhadap pemerintah kabupaten dan kota. Secara geografis, pemerintah kabupaten dan kota jelas memiliki wilayah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Sedangkan pemerintah daerah provinsi secara nyata tidak memiliki daerah kekuasaan, meskipun kabupaten dan kota yang berada di dalamnya merupakan bawahan pemerintah daerah provinsi.
Namun, pemerintah provinsi tidak memiliki kekuasaan terhadap wilayah kekuasaan kabupaten dan kota. Misalnya saja, ketika pemerintah provinsi menginginkan penggalian tambang di suatu kabupaten, maka tidak serta-merta pemerintah provinsi dapat melakukannya tanpa persetujuan dari pemerintah kabupaten tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik birokrasi dan konflik administrasi.
Posisi pemerintah provinsi yang demikian itu, dapat dikatakan seperti macan ompong. Artinya, secara struktur pemerintahan, pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan yang kuat, karena pemerintah kabupaten dan pemerintah kota berpedoman pada desentralisasi, sehingga pemerintah daerah tersebut lebih berwenang terhadap wilayahnya dibandingkan pemerintah provinsi. Jika sudah sepertiitu, maka eksistensi pemerintah provinsi tidak diperlukan lagi, kecuali memiliki kekuasaan terhadap kabupaten dan kota. Hal tersebut akan terjadi apabila provinsi tersebut berfungsi dan berwenang seperti pemerintah pusat, (untuk tidak mengatakan sebagai negara bagian). Dengan dekonsentrasi, pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam menerapkan otonomi daerah. Oleh sebab itu, gagasan Republik Indonesia Serikat perlu dibahas kembali.
Ada beberapa pertimbangan mengapa Indonesia harus menjadi negara vederal, yaitu:
 Pertama, ditinjau secara antropologis dan sosiologis, Indonesia bukanlah negara yang memiliki kebudayaan yang homogen. Sehingga budaya suatu daerah merupakan cerminan dari daerah itu sendiri bukan merupakan cerminan dari Indonesia. Hiterogisitas kebudayaan dan adat istiadat di berbagai daerah, sangat sulit untuk disatukan dan telah mengakar di dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian, negara tidak dapat menginterfensi kebudayaan-kebudayaan yang ada, dan negara hanya sebatas sebuah wadah yang di dalamnya telah ada pembatas-pembatas agar isi yang satu dengan yang lain tidak tercampur.
Kedua, ekonomi yang tidak merata menjadikan pertimbangan untuk terbentuknya sebuah negara Indonesia vederal. Banyak daerah-daerah Indonesia yang memiliki kekayaan alam atau kekayaan dalam bentuk lain yang dapat menyejahterakan masyarakat daerah tersebut. Namun yang terjadi adalah potensi-potensi alam yang ada justru tidak membuat masyarakat daerah tersebut menjadi sejahtera. Hal ini disebabkan karena campur tangan pusat terhadap pengelolaan potensi-potensi daerah masih cukup besar. Campur tangan tersebut dapat berbentuk kebijakan-kebijakan nasional yang sebenarnya hanya untuk memperkaya para pejabat. Seperti contoh, pertambangan emas di Papua yang sebenarnya sangat cukup untuk menyejahterakan masyarakat Papua, tetapi justru masayrakat Papua tidak lebih baik dengan adanya pertambangan emas itu. Hasil yang diperoleh dari penambangan tersebut, hanya dinikmati oleh para pejabat, terutama Jakarta. Ini salah satu fenomena yang terjadi. Oleh sebab itu, jika provinsi menjadi negara bagian, maka pengaturan terhadap daerah-daerah di bawahnya secara teoritis akan semakin baik, karena tidak dibebani oleh adanya mekanisme NKRI yang seolah-olah pemerintah pusat adalah raja. Selain itu, regulasi yang akan dibuat bebas dari asas “lex superior derogat legi inviori”. Artinya bahwa dengan bentuk NKRI, maka daerah-daerah harus menyesuaikan dengan regulasi yang ada diatasnya. Jika daerah provinsi sebagai negara bagian, maka asas tersebut tidak berlaku, sehingga terbebas dari kepentingan-kepentingan pusat yang sekiranya regulasi itu merugikan daerah-daerah. Dengandemikian, ekonomi dapat lebih merata untuk mencapai kesejahteraan masyarakat suatu wilayah.
Ketiga, SDM yang tidak merata. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan pemertaan SDM adalah bahwa jumlah penduduk terbanyak di Indonesia adalah di pulau Jawa. Hal ini terjadi karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah, baik bekerja, menuntut pendidikan,  berpolitik di pusat, dan lain sebagainya, sehingga mengakibatkan rasa nasionalisme kedaerahan tidak ada. Berbeda halnya ketika suatu provinsi berubah menjadi sebuah negara bagian, yang mana masyarakatnya akan memiliki nasionalisme terhadap negaranya. Sehingga masyarakat tersebut akan berjuang demi negaranya. Misalkan saja dalam pendidikan, banyak para siswa maupun mahasiswa dari daerah lain yang berdatangan ke Jawa untuk menuntut ilmu. Perbedaan kualitas pendidikan ini pun sebenarnya merupakan bentuk diskriminasi di dalam negara kesatuan. Setelah berpendidikan banyak putra-putra daerah yang tidak kembali ke daerahnya untuk membangun daerahnya masing-masing. Ini terjadi karena dimana pun siswa/mahasiswa berada, maka siswa/mahasiswa masih tetap di negara Indonesia. Berbeda ketika sudah menjadi negara bagian, meskipun siswa/mahasiswa berpendidikan di negara Jakarta, maka siswa/mahasiswa akan kembali ke negaranya untuk membangun negaranya sendiri. Dengan demikian, kualitas SDM yang baik tidak hanya berada di pulau Jawa yang merupakan pusat pemerintahan, pusat pendidikan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penerapan otonomi daerah yang setengah hati dan beberapa pertimbangan perlunya Indonesia menjadi vederal, maka Indonesia sudah layak untuk menjadi negara vederal secara formal, baik bentuk maupun sistemnya.