Laman

Sabtu, 24 Desember 2011

karakteristikgenerasi muda islam indonesia


KARAKTERISTIK GENERASI MUDA ISLAM INDONESIA
Ass. Wr. Wb.
Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruh. Wa’uudzu billaahi min syruuri angfusinaa wamin syyi a’malina myyahdihillaahu falaa mudlillalah wamayyudlil falaa hadialah. Asyhadu allaa ilaaha illa allah waasyhadu anna muhammadan ‘abduhu warasuuluh ‘amma ba’duh.
Puji syukur senantiasa kita persembahkan kepada Allah SWTyang telah memberikan berbagai kenikmatan kepada kita semua sehingga hingga saat ini kita dapat bertemu dan bersilaturahmi di tempat ini dalam suasana yang berbahagia.
Shalawat beriringkan salam, semoga senantiasa trcurah kepada Nabi Agung Muhammad SAW Nabi yang telah menerima penyempurnaan agama Islam dan insya Allah kita mendapatkan syafaatnya.
Hadirin yang dirahmati Allah SWT.

Perkembangan sebuah peradaban manusia tidak lepas dari peran para generasi pemudanya. Hal ini pun terjadi di negara kita, bahwa sejarah telah mencatat terdapat perjuangan para pemuda bangsa Indonesia untuk memerdekaakan negara dari kolonialisme dan imperialisme. Menurut sejarah terdapat dua peristiwa yang dapat kita renungkan kembali sikap dan peran serta generasi muda bangsa Indonesia.
Pertama, peristiwa sumpah pemuda merupakan peristiwa dimana para pemuda bangsa menunjukkan kesetiaan dan kesungguhannya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa sehingga mereka bersumpah demi negara dan bangsa. Hal tersebut dapat diambl sebuah sikap, bahwa hal yang tterdaapat di dalam diri pemuda adalah semangat perjuangan yang berapi-api, ini pun tidak hanya terjadi pada peristiwa sumpah pemuda itu, namun bagaiamana semangat yang berapi-api itu mampu diinternalisasikan di dalam diri generasi muda bangsa sehingga dapat membangun kepribadaian indifidu maupun bangsa.
Kedua, Peristiwa rengasdengklok. Peristiwa ini merupakan peristiwa dimana para pemuda harus bersikap cepat dalam memanfaatkan segala kesempatan yang telah ada. Peristiwa ni pun menunjukkan bahwa dukungan para generasi muda bangsa sangat menentukan nasib bangsa karena dengan adanya desakkan dari para pemuda maka lahirlah bangsa Indonesia yang terbebas dari kolonialisme dan imperialisme yang berkepanjangan. Kedua peristiwa tersebut memperlihatkan kepada kita sebagai generasi muda Islam Indonesia, bahwa sebuah perkembangan dan kemajuan bangsa tidak lepas dari peran generasi muda.

Hadirin yang terhormat.

Lahirnya bangsa Indonesia, bukan sebuah waktu dimana generasi selanjutnya berpangku tangan terhadap keberhasilan para pejuang bangsa. Akan tetapi sebuah cambuk dimana kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan memberi yang terbaik yang kita miliki. Sebagai generasi muda, maka kita harus mampu untuk menjaga reputasi bangsa dan bernegara dengan memegang teguh dasar negara kita. Terdapat dua aspek yang harus kita pegang dan kita pertahankan sebagai generasi muda Islam Indonesia, yaitu:
  1. Aspek nasionalisme;
Nasinalisme merupakan sikap yang sangat dipegang oleh para pemuda pejuang bangsa, sehingga dalam proses perjuangannya mampu mengusir penjajah diatas bumi pertiwi ini. Nasionalisme adalah sebuah sikap dimana kita harus mempertahankan karakteristik bangsa sehingga kita memiliki jati diri yang lain dari pada negara yang lain. Nasionalisme ini dapat dilihat dari prinsip dasar Pancasila yang kelima sila tersebut merupakan karakteristik negara Indonesia. Namun pada saat ini, para generasi muda bangsa telah melalaikan prinsip dasar tersebut dan telah terpengaruh oleh modernisasi, westernisasi sekulerisasi. Ketiga hal itu sangat marak di dunia muda Islam Indonesia. Kita sangat prihatin dengan keadaan ini sehingga tugas kita selaku pemuda yang peduli terhadap nasib bangsa maka kita harus merubah degradasi peradaban bangsa Indonesia saat ini untuk menjadi lebih baik. Dengan masuknya sekulerisasi dan westernisasi mengakibatkan jauhnya peradaban Islam dimata generasi muda Indonesia. Mengapa hal demikian terjadi? Sebuah pertanyaan besar yang dapat kita jawab dengan introspeksi diri.
Secara kepribadian bangsa, para pemuda telah jauh dari apa yang kita sebut dengan semangat pemuda bangsa, karena generasi bangsa Indonesia telah mengesampngkan Pancasila yang merupakan kepribadian bangsa ini. Pancasila yang dijadikan alat filterisasi tidak mampu dilaksanakan dengan baik sehingga banyak buday-budaya barat yang masuk dan menyimpang dari kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai warga dunia, kita tidak lepas dari pergaulan internasional, akan tetapi kita juga jangan sampai mengorbankan harkat martabat kita diinjak-injak bangsa lain. Telah banyak kasus yang telah meninjak-injak martabat bangsa kita, yang dapat kita lakukan selanjutnya adalah sadar akan kemunduran bangsa kita dan semangat kembali untuk berbenah diri.
Allah telah berfirman dalam Q-S.  Al-Hujuraat  
(13) Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Firman diatas memberikan penegasan bahwa hadinya manusia dibumi untuk saling mengenal dan menjaga kerukunan antar sesame dan nilai tertinggi dihadapan Allah ialah ketakwaan hamban-nya. Penjajahan secara halus yang dilakukan oleh bangsa barat merupakan tindakkan yang tidak sesuai dengan konsep Islam dan kepribaian bangsa Indonesia, dengan demikian wajib bagi generasi muda Islam Indonesia untuk mempertrahankan rasa nasionalisme terhadap Negara ini.
Sebuah riwayat menceritakan, bahwa Nabi Muhammad pun memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negeri Mekah. Ketika Nabi akan melakukan Hijrah, maka Nabi merasa berat untuk meninggalkan tanah Mekah jika tidak karena Allah. Kisah ini menunjukkan dalam diri Nabi Muhammad terdapat kecintaan terhadap negerinya sendiri dengan demikian apabila kita bersikap nasionalisme terhadap Negara kita, kita telah mengikuti tindakkan Nabi pula. Kecintaandalam konteks negara Indoenesia,  dapat diwujudkan dengan cara tindakkan filterisasi terhadap apa yang telah dipenetrasikan bangsa barat kedalam negara Indonesia sehingga kita telah membantu untuk menegakkan kepribadian bangsa agar tidak diinjak-injak oleh bangsa lain.

  1. Aspek Islamisme;
Sealin aspek nasionalisme kita juga harus memiliki dan mempertahankan aspek Islamisme yang tinggi karena kita adalah generasi muda Islam. Karakteristik pemuda Islam adalah berani menegakkan kebenaran meskipun banyak tantangan yang merintang dihadapan kita yang didasarkan atas Alqur’an dan Alhadits  Namun semangat keislaman ini telah mulai luntur dengan peradaban-peradaban barat yang sedikit demi sedikit menggrogoti budaya Islam yang ada di Indonesia. Banyaknya pergaulan bebas yang telah meracuni pemuda Indonesia menunjukkan lemahnya jiwa keislaman para pemuda bangsa, karena tidak mampu membetengi diri dengan ajaran-ajaran Islam yang sempurna. Alqur’an yang merupakan dasar umat Islam hanya dijadikan kajian akademis saja dan hanya dijadikan ritual dalam membacanya tanpa dijadikan pengamalan keseharian. Demikian jaunya dari pengamalan Alqur’an menjadikan umat Islam khususnya para pemuda Islam jauh dari karakteristik umat Islam itu sendiri. Sikap yang harus kita bangun saat ini adalah sikap kesadaran yang tinggi atas degradasinya ajaran-ajaran Islam, sikap berani menentang budaya-budaya barat yang telah banyak menggrogoti Islam.
Sejarah masa lalu telah membuktikan, bahwa pada abad pertengahan menunjukkan kemauan Islam yang sangat pesat dan kuat dalam peradabannya. Berdasarkan sejarah tersebut, maka kita telah memiliki cmbuk yang kuat bahwa Islam di Indonesia harus bangkit dan menentang kolonialisme modern. Jangan katakan bangsa kita telah terbebas dari kolonialisme dan imperialisme secara mutlak, justeru pada saat ini kita telah dijajah secara halus melalui kebudayaan, parakdikma-paradikma, aliran-aliran pemikiran dan lain sebagainya yang bertujuan menghancurkan kepribadian bangsa Indonesia maupun kepribadian Islam. Jauhnya umat Islam dari pedoman hidup/The way of life merupakan tindakkan umat Islam sendiri untuk tidak menolong agama Allah. Dalam Q-S. Muhammad (7) telah dinyatakan oleh Allah SWt, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. Berdasarkan ayat tersebut maka ada syarat apabila kita ingin ditolong oleh Allah dan diangkat kedudukkannya oleh Allah, yaitu jika kita menolong agama Allah niscaya kita pun akan ditolong dan diangkat kedudukkannya. Kenyataan saat ini justru generasi muda Islam telah larut dalam arus modernisasi, westernisasi, serta yang lebih bahaya bagi generasi muda adalah mengikuti arus sekulerisme yang mana akan menjauhkan unsur agama dengan kehidupan bernegara.
Penjajahan karakter memang lebih menyakitkan dibandingkan dengan penjajahan secara fisik, karena penjajahan karakter akan membunuh kepribadian bangsa yang selama ini telah dibangun oleh para pejuang bangsa terdahulu. Kemajuan zaman dan ketatnya persaingan antar negara,harus menjadi dorongan kita untuk bersaing positif dengan negara dan generasi muda negara lain, karena dengan demikian generasi muda Islam Indonesia mampu menunjukkan jati diri bangsa ini dan memiliki karakteristik yang unggul dibanding negara lain. Issue-issue tentang terorisme yang dibawa oleh umat Islam merupakan salah satu cara untuk menjatuhkan kebesaran nama Islam, sehinga umat Islam akan tersinggkirkan dari pergaulan bangsa dunia. Namun hal demikian harus kita tanggapi dengan sikap yang percaya diri untuk menyatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil’aalamiin yang memberikan kedamaian kepada manusia secara keseluruhan. Inilah peran para pemuda yang akan melanjutkan perjuangan para pendahulu demi terwujudnya karakteristik bangsa  baik dari aspek nasionalisme maupun dari aspek Islamisme. Dua aspek tersebut merupakan karakteristik pemuda Islam Indonesia yang berarti akan menjalankan amanat-amanat yang telah tercantum di dalam dasar negara serta menjalankan apa yang telah ada di dalam Alqur’an maupun Assunah yang mdmerupakan dasar umat Islam untuk berpedoman pada keduanya, dengan demikian akan tercipta suatu generasi muda yang cerdas dan berakhlak mulia yang bersifat nasionalis dan Islamis.

Hadirin yang berbahagia,
Demikianlah pidato singkat yang sya sampaikan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan kita termasuk generasi yang memiliki karakteristik diatas dan dapat mewujudkan generasi muda Islam Indonesia cerdas dan berakhlak mulia.
Tiada kata yang indah kecuali ungkapan mohon maaf atas segala kekurangan, akhiru kalam
Wss. Wr. Wb.

Kamis, 22 Desember 2011

POLITIK HUKUM PIDANA ISLAM DAN PRPOLITIK HUKUM PIDANA ISLAM dan PROSPEKNYA DI INDONESIAPOLITIK HUKUM PIDANA



Hukum Islam di Indonesia merupakan sebuah perdebatan yang pnajang. Sehingga dalam penerapannya di Indonesia harus melihat kemaslahatan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Konsep Pemberlakuan Hukum Pidana Islam tidak lepas dari tujuan hukum Islam yang sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta (Bakri, 1996: 71).
Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawaid al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-kulliyyah alkhamsah (lima kebutuhan pokok). Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang tidak dinasakh (dihapus hukumnya) dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Di antara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman keras, larangan berzina, dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Dengan dasar ayat-ayat itulah, maka al- Syathibi pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya lima kebutuhan pokok bagi manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy (niscaya) dalam arti dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum (Djamil, 1997: 125-126).
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-Syathibi mengemukakan tiga peringkat maqashid al-syari’ah (tujuan syariat), yaitu pertama adalah tujuan primer (maqashid al-daruriyyah), kedua adalah tujuan sekunder (maqashid al-hajjiyyah), dan ketiga tujuan tertier (maqashid al-tahsiniyyah). Atas dasar inilah maka hukum Islam dikembangkan, baik hukum pidana, perdata, ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang lainnya (Juhaya S. Praja, 1991: 274). Diketahuinya tujuan-tujuan hukum Islam itu akan mempermudah ahli hukum dalam mempraktekkan hukum. Apabila ilmu hukum tidak dapat menyelesaikan hukum suatu peristiwa maka dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, setiap peristiwa hukum akan dengan mudah diselesaikan.
Pengkategorian yang dilakukan oleh al-Syathibi ke dalam tujuan primer, sekunder, dan tertier seperti di atas menunjukkan begitu pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengkategorian ini mengacu tidak hanya kepada pemeliharaan lima unsur, akan tetapi mengacu pula kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dengan mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat tujuan syariat tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum pidana Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhhab Khallaf memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pokok manusia dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Khallaf, 1978: 200-204):
1. Memelihara agama (hifzh al-din)
Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan antar manusia. Untuk menjaga dan memelihara kebutuhan agama ini dari ancaman musuh maka Allah mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi orang yang menghalangi dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga mensyariatkan shalat dan melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh memerangi orang yang murtad dan musyrik.
2. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs)
Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang kebinasaan (bunuh diri).
3. Memelihara akal (hifzh al-‘aql)
Untuk menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang memabukkan. Kalau larangan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal. Di samping itu, ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang yang meminum minuman keras.
4. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl)
Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini, akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk seratus kali.
5. Memelihara harta (hifzh al-mal)
Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta, misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam dengan hukuman potong tangan.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga eksistensi dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain, hukuman-hukuman itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan ancaman hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang yang diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya termasuk di Indonesia. Meskipun pada saat ini Indonesia belum menerapkan hal tersebut, akan tetapi usaha menerapkan sayri’at Islam pernah dilakukan oleh para founding father Indonesia. Hingga saat ini yang menjadi permasalahan di negara ini ialah politik hukum yang tak kunjung hilang.
Pertarungan idiologi kebangsaan dimulai sejak awal persiapan kemerdekaan negara Indonesia. Dimana kaum sekuler dan kaum religius saling mempertahankan idiologi yang akan diterapkan di negara Indonesia. Idiologi ini berupa penerapan syari’at Islam atuka bukan syari’at Islam. Hasil musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghasilkan sebuah piagam yang disebut dengan piagam Jakarta yang merupakan dasar negara untuk menerapkan syari’at Islam. Piagam Jakarta ini salah satu Silanya berbunyi “Ketuhanan yang Maha esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Namun sila ini mendapatkan kecaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan sila tersebut ada,  sehingga sejarah mencatat terjadi perubahan pada Sila pertama dengan menghapuskan tujuh kata dan berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan demikian sila tersebut hinggga saat ini berbunyi demikian. Perubahan secara tekstual pada sila pertama tersebut, merupakan kegagalan kaum nasionalis religius untuk mewujudkan negara Indonesia yang bersyari’atkan Islam. Namun para founding father tidak berhenti sampai pada konsep Pancasila, akan tetapi para politisi nasionalis religius mengusahakan agar secara formil syari’at Islam diterapkan sehingga pada masa orde baru lahirlah Inpres tahun 1991 yang menerbitkan Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya terdapat tiga buku mengenai hukum perdata Islam yaitu buku I tentangperkawinan,  buku II tentang Kewarisan, buku III tentang wakaf.
Lahirnya KHI tersebut juga dianggap Indonesia belum menerapkan syari’at Islam karena belum mengatur secara formil mengenai jinayat atau hukum pidana Islam. Konstilasi politik hukum sangat dominan dalam penetapan KUHP tentang hukum pidana secara Islam formil. Terdapat dua aliran mengenai penerapan hukum Islam, yaitu aliran jawabir yang berpendapat bahwa hukum Islam harus diterapkan sesuai dengan nash. Sedangkan aliran zawabir berpendapat bahwa hukum Islam tidak diterapkan secara formil akan tetapi hanya substansinya saja dan bertujuan agar orang lain menjadi jera. Hukuman yang diterapkan bukan hukuman had akan tetapi diganti dengan hukuman yang lain sebagai pengganti hukuman had, misal dengan hukuman penjara. Jika kita fahami bersama, bahwa konsep pemidanaan yang terdapat di dalam KUHP sebenarnya tidak sesuai dengan keadaan sosial masyarakat dan juga tidak sesuai dengan filosofis bangsa. Dua aspek dalam menentukan suatu yuridis tersebut apabila telah tidak sesuai maka tidak layak untuk dijadikan sebagai aturan atau norma-norma yang harus diinternalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila hal ini tidak diatur sesuai dengan hukum Islam, maka pergaualan bebas dikalangan para generasi tidak akan berhenti karena delik perzinahan yang memiliki penertian yang terbatas. Suatu hal yang niscaya apabila hukum Islam masuk dalam aturan formil.
Seperti contoh, delik perzinahan pada KUHP tidak sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim karena dalam delik tersebut yang disebut zinah ketika salah satu dari pelaku telah terikat oleh ikatan perkawinan. Sedangkan dalam jarimah zinah ditentukan bagi siapapun yang melakukan hubungan suami isteri yang tidak terikat oleh ikatan pernikahan dan terdapat pembagian muhshon dan ghairumuhshon.
Teori politik hukum mengatakan, bahwa dalam suatu negara demokrasi maka hukum akan bersifat responsif. Berdasarkan teori tersebut, maka bila negara Indonesia merupakan negara demokratis maka aturan-aturan hukum yang berlaku bersifat responsif, artinya hukum yang memang sesuai dengan filosofis dan sosiologis kebangsaan. Kuatnya kepentingan-kepentingan politik menyebabkan kepentingan hukum yang hakiki tersingkirkan sehingga menjadikan RUU tentang hukum Islam tidak segera terselesaikan. Disamping faktor politik, proses positifisasi hukum Islam ini juga memiliki hambatan secara hukum.  Qanunisasi atau pengundangan hukum Islam di negeri ini, paling tidak, dapat terbentur empat hal, yaitu:
Pertama, diperlukan transfer "bahasa" syariat Islam yang terdapat dalam Alquran, hadis, dan kitab-kitab fiqh ke dalam bahasa undang-undang. Itu bukan pekerjaan mudah, mengingat bahasa merupakan bagian dari budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa undang-undang berbeda dengan bahasa kitab kuning. Hal itu membutuhkan kerja sama yang luar biasa dari pakar hukum umum dan pakar hukum Islam untuk menyamakan "bahasa". Sebagai contoh, kata "subversi" dan "hirabah" atau "bughat" tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses "tansfer bahasa".
Kedua, bukan saja bahasa yang merupakan produk budaya, tetapi hukum juga bagian dari budaya tertentu. Setting sosial hukum Islam saat Nabi bermukim di Madinah 15 abad yang lampau dan suasana sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik saat para a’immatul mazahib (para imam mazhab) hidup jelas berbeda dengan suasana Indonesia saat ini. Itu bisa membuat sebuah pasal yang diambil mentah-mentah dari sebuah aturan hukum ratusan bahkan ribuan tahun lalu berbenturan dengan dinamika dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Contohnya, konsep aqillah dalam pidana Islam sangat dipengaruhi struktur keluarga dan klan jazirah Arab. Karena itu, denda dalam tindak pidana bukan saja ditanggung oleh terpidana, tetapi juga oleh keluarga atau sukunya. Aturan denda dalam fiqh Islam yang masih menyebutkan ganti rugi dalam bentuk onta, misalnya, akan musykil diterapkan untuk konteks Indonesia.
Ketiga, andaikata terjadi benturan konsep antara pidana Islam dan pidana Barat, mana yang akan diterima pemerintah dan DPR? Ketika terjadi sebuah pembunuhan tidak disengaja, dalam konsep pidana Barat, negara akan bertindak mewakili korban dalam menuntut pembunuh tersebut. Walaupun -seandainya- keluarga korban sudah memaafkan si pembunuh, negara akan tetap membawa kasus tersebut ke pengadilan. Dalam pidana Islam, penerimaan maaf dari keluarga korban dapat menggugurkan tuntutan pidana. Begitu pula tindak pidana pencurian, menurut Imam Syafi’i, dapat gugur jika sang pencuri bertobat dan mengembalikan harta curiannya -selama kasusnya belum sampai meja hakim. Pengembalian Rp 40 miliar dalam Buloggate II saat kasusnya masih di kejaksaan dapat menggugurkan proses hukum selanjutnya, jika pidana Islam diterapkan dalam kasus ini. Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan: potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (lihat Tafsir Fakh al-Razi, juz XI, h. 228) atau menurut ulama  lain menafkahkannya di jalan Allah (lihat Tafsir Ruh al-Ma’ani, juz VI, h. 135). Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa unsur tobat dan maaf mendapat porsi yang cukup luas dalam pidana Islam. Tentu saja, hal itu tidak berlaku dalam pidana Barat.
Keempat, lazim diketahui bahwa fiqh Islam dipahami berbeda-beda di kalangan mazhab-mazhab yang ada (Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali, Zahiri, Ja’fari, dan yang lain). Bahkan, perbedaan pendapat bukan saja terjadi antarmazhab, tetapi dapat juga terjadi di lingkungan satu mazhab (katakanlah, di antara sesama murid Imam Abu Hanifah). Persoalannya, mazhab mana yang akan dipilih pemerintah sebagai bahan RUU KUHP?.
Proses positifisasi hukum Islam apabila tidak dilaksanakan secara kolektif oleh partai politik Islam yang merupakan insturmen politik dalam menentukan suatu kebijakan, maka proses positifisasi hukum Islam tersebut akan tertnda terus-menerus. Oleh karena itu faktor politik atau kekuasaan sangat mendukung untuk  lahirnya sebuah undang-undang hukum pidana Islam. Bila melihat pada teori Islam dan politik, maka terdapat tiga aliran yang berpendapat. Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna (kafah) dan lengkap (kamilah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap (al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah). Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Konsekuensi dari aliran ketiga itu, melahirkan pemahaman bahwa istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi kaum Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt, maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja.
Perdebatan Islam dan politik ini pun memppengaruhi pemikiran terhadap positifisasi hukum Islam di Indonesia. Sebagai negara yang bukan negara Islam Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menerapkan syari’at Islam secara formil. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Islam seharusnya memiliki kekuasaan untuk menentukan langkah-langkah politik dalam usaha menerapkan hukum Islam secara formil. Untuk menerapkan hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia harus memenuhi unsur-unsur umum yang ada pada unsur-unsur jarimah, diantaranya adalah:
a.       Unsur formil (adanya undang-undang). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang mengaturnya.
b.      materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap dengan tidak berbuat. Unsur ini dalam pidana hukum Islam disebut dengan arrukn almadi.
c.       Unsur moril (pelakunya mukalaf). Artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syari’at Islam unsur moril disebut dengan arrukn aladabi.
Dari ketiga unsur diatas, unsru formil inilah yang seharusnya diterapkan. Dengan diterapkannya unsur formil ini, maka unsur-unsur yang lain dapat mengikuti. Melihat dari sifatnya, hukum pidana Islam lebih bisa bersifat preventif dan represif karena dalam jinayat lebih keras daripada hukum positif yang sekarang berlaku. Usaha memformulasikan hukum Islam dalam hukum nasional masih diperjuangkan para kaum formalis untuk dapat mewujudkannya. Namun dilain sisi para legislator yang memiliki fungsi legislasi lebih memilih membahas RUU yang lebih bersifat politis dan menguntungkan bagi mereka yang berkecimpung dalam kepentingan-kepentingan indifidual maupun golongan.
Adapun asas-asas dalam hukum Islam bersumber pada alqur’an sehingga tidak diragukan lagi kebenarannya karena merupakan hukum Tuhan.  Selain kebenarannya yang tidak terbantahkan, hukum Islam dapat memberikan efek jera yang lebih efektif dibanding dengan hukuman penjara yang diterapkan.banyaknya terpidana yangdihukum penjara, menandakan bahwa hukum positif yang berlaku tidak efektif dalam memberikan efek jera. Asas-asas yang terkandung di dalam hukum Islam adalah:
a.       Asas legalitas. Asas ini di dalam syari’at Islam tidak secara tegas dinyatakan seperti di dalam KUHP, akan tetapi secara substansial terdapat kaidah-kaidah yang mengandung asas legalitas. Sumber asas legalitas tercantum pada ayat Alqur’an yang menyatakan “Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul” Alisra’ (15), Q-S Alqasas (59), Q-S Al’anam (19), Albaqara (286). Ayat-ayat tersebut menyatakan adanya asas legalitas dalam hukum Islam. Dengan demikian hukum Islam memiliki prospek yang baik untuk menjadi hukum nasional Indonesia.
Penerapan asas legalitas tidak dapat dilaksanakan apabila nas-nas yang ada di dalam syari’at Islam diundangkan dan diketahui orang banyak.
b.      Asas tidak berlaku surut:
Hukum pidana Islam pada prinsipnya tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan kaidah laa raj’iyyah fi attasyri’ aljina’i yang artinya tidak berlaku surut pada hukum pidana islam,. Sebelum adanya nas yang melarang perbuatan, maka tindakan mukalaf tidak bisa dianggap suatu jarimah. Kendati demikian ada beberapa jarimah yang berlaku surut karena apabila tidak diberlakukan surut akan terjadi kekacaan dikalangan kaum muslim.
c.       Asas praduga tak bersalah:
Suatu konsekwensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tidak bersalah. Menurut asas ini, semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nas hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahatkecuali dibuktikan kesalahannya, pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika suatu keraguan yang beralasan muncul,seorang tertutuduh harus dibebaskan.
Berdasarkan asas-asas tersebut, bukan suatu alasan lagi bahwa hukum pidana Islam tidak sesuai dengan keadaan negara Indonesia. Pertarungan politik dalam rangka menerapkan hukum Islam seharusnya diminimalisir agar tidak terjadi keberlarutan dalam proses positifisasi hukum Islam di Indonesia. Jika para praktisi hukum Islam maupun para akademisi hukum Islam berpandangan bahwa yang terpenting adalah substansi hukum Islam yang diterapkan, maka hal tersebut tidak akan bisa diperoleh. Jika golongan penganut positifisasi hukum Islam harus diterapkan, maka hal tersebut akan memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum. Dengan demikian menurut penulis antara substansi dan formulasi harus berjalan seimbang. Analogi dari perdebatan ini adalah pelaksanaan shalat, yaitu bisakah disebut dengan shalat apabila kita tidak melakukan gerakan-gerakan shalat?. Jika hanya melandaskan pada substansinya maka shalat adalah doa dan doa bisa dilakukan dengan hanya mengucapkan saja tanpa melaksanakan gerakan-gerakan shalat. Hal tersebut sama halnya dengan penerapan hukum Islam formulasi hukum hendaknya nyata danmencakup  substansi hukum Islam.  






BAB III
KESIMPULAN
Politik hukum pidana Islam adalah suatu tindakan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif serta yudikatif untuk membuat seperangkat peraturan-peraturan negara tentang kejahatan yang didasarkan pada aturan-aturan hukum Islam sesuai dengan alqur’an dan assunnah.
Kendala-kendala yang dihadapi golongan yang menginginkan adanya secara formil hukum Islam ialah keadaan politik dan benturan tentang hukum itu sendiri. Dalam penerapan hukum Islam setidaknya akan menemui benturan-benturan: Pertama, diperlukan transfer "bahasa" syariat Islam yang terdapat dalam Alquran, hadis, dan kitab-kitab fiqh ke dalam bahasa undang-undang. Itu bukan pekerjaan mudah, mengingat bahasa merupakan bagian dari budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa undang-undang berbeda dengan bahasa kitab kuning. Hal itu membutuhkan kerja sama yang luar biasa dari pakar hukum umum dan pakar hukum Islam untuk menyamakan "bahasa". Sebagai contoh, kata "subversi" dan "hirabah" atau "bughat" tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses "tansfer bahasa".
Kedua, bukan saja bahasa yang merupakan produk budaya, tetapi hukum juga bagian dari budaya tertentu. Setting sosial hukum Islam saat Nabi bermukim di Madinah 15 abad yang lampau dan suasana sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik saat para a’immatul mazahib (para imam mazhab) hidup jelas berbeda dengan suasana Indonesia saat ini. Itu bisa membuat sebuah pasal yang diambil mentah-mentah dari sebuah aturan hukum ratusan bahkan ribuan tahun lalu berbenturan dengan dinamika dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Contohnya, konsep aqillah dalam pidana Islam sangat dipengaruhi struktur keluarga dan klan jazirah Arab. Karena itu, denda dalam tindak pidana bukan saja ditanggung oleh terpidana, tetapi juga oleh keluarga atau sukunya. Aturan denda dalam fiqh Islam yang masih menyebutkan ganti rugi dalam bentuk onta, misalnya, akan musykil diterapkan untuk konteks Indonesia.
Ketiga, andaikata terjadi benturan konsep antara pidana Islam dan pidana Barat, mana yang akan diterima pemerintah dan DPR? Ketika terjadi sebuah pembunuhan tidak disengaja, dalam konsep pidana Barat, negara akan bertindak mewakili korban dalam menuntut pembunuh tersebut. Walaupun -seandainya- keluarga korban sudah memaafkan si pembunuh, negara akan tetap membawa kasus tersebut ke pengadilan. Dalam pidana Islam, penerimaan maaf dari keluarga korban dapat menggugurkan tuntutan pidana. Begitu pula tindak pidana pencurian, menurut Imam Syafi’i, dapat gugur jika sang pencuri bertobat dan mengembalikan harta curiannya -selama kasusnya belum sampai meja hakim. Pengembalian Rp 40 miliar dalam Buloggate II saat kasusnya masih di kejaksaan dapat menggugurkan proses hukum selanjutnya, jika pidana Islam diterapkan dalam kasus ini. Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan: potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (lihat Tafsir Fakh al-Razi, juz XI, h. 228) atau menurut ulama  lain menafkahkannya di jalan Allah (lihat Tafsir Ruh al-Ma’ani, juz VI, h. 135). Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa unsur tobat dan maaf mendapat porsi yang cukup luas dalam pidana Islam. Tentu saja, hal itu tidak berlaku dalam pidana Barat.
Keempat, lazim diketahui bahwa fiqh Islam dipahami berbeda-beda di kalangan mazhab-mazhab yang ada (Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali, Zahiri, Ja’fari, dan yang lain). Bahkan, perbedaan pendapat bukan saja terjadi antarmazhab, tetapi dapat juga terjadi di lingkungan satu mazhab (katakanlah, di antara sesama murid Imam Abu Hanifah). Persoalannya, mazhab mana yang akan dipilih pemerintah sebagai bahan RUU KUHP?.


DAFTAR PUSTAKA
Assidiqie, Jimly, Konstitusi & konstitusionalisme Indonesia, Jakarta :kon press
Munajat, Makhrus, Fikih Jinayah (Hukum Pidana Islam), edisi revisi, Yogyakarta : pesantren Nawasea Press, 2010.
Mohammad Daud Ali. 1989. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”. Dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES.
Syaltout, Mahmud. (1966). Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar al-Qalam. Cet. III.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. IX.
Salim, M. Arskal. 2001. “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi
Al-Mawardi, Imam, Al-Ahkam Asulthaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam, Jakarta: Darul Falah, 2006, Cet. 2




Rabu, 21 Desember 2011

PENEGAKKAN HUKUM DEMOKRATISASI DAN MASYARAKAT MADANI

PENEGAKKAN HUKUM, DEMOKRASI DAN MASYARAKAT MADANI Di susun oleh: ABDULLAH FIKRI Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga   YOGYAKARTA  BAB I  PENDAHULUAN   A. LATAR BELAKANG  Latar belakang ditulisnya karya ini adalah karena kerisauan penulis melihat fenomena sosial, politik, dan hukum yang tak kunjung membaik meskipun telah masuk dalam era  reformasi. Di samping itu penulis merasa perlu untuk memaparkan fenomena-fenomena yang terjadi khususnya dalam hal penegakkan hukum dan pelaksanaan demokrasi yang menuju ke masyarakat madani. Beberapa hal yang mengindikasikan latar belakang ini ditulis adalah penegakkan hukum yang tidak adil dan hal itu tidak sessuai dengan Negara hukum demokrasi yang diterapkan oleh Negara Indonesia. Selain itu belum tercapainya tujuan UUD 1945 dan juga belum tercapainya demokrasi menuju masyarakat madani. Mengapa hal-hal yang menjadi latar belakang masalah ini terjadi? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam karya tulis ini.  Menilik sejarah, bahwa para founding futhers merumuskan sebuah konsep Negara hukum dan bersistem politik demokrasi. Kedua konsep inilah yang kemudian berkembang hingga saat ini dan senantiasa dipertahankan. Namun sejarah pun tidak dapat diingkari, bahwa system politik demokrasi telah mengalami perubahan-perubahan sebutan dari demokrasi libral, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila dan era sekarang penyebutan demokrasi adalah demokrasi reformasi. Undang-undang dasar 1945 memiliki rumusan tujuan yang trekandung di dalam preambule UUD 1945 alenia  keempat yang mana salah satu tujuannya ialah “memajukan kesejahteraan umum”. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa sebagai Negara hukum demokrasi harus mampu melaksanakan amanat tersebut dengan menegakkan hukum dengan adil dan menciptakan kesejahteraan  lahir batin, baik itu besifat materi maupun imateri yang mencakup seluruh bangsa tidak haynya para pejabatnya sajalah  yang merasakan kemakmuran dan kesjahteraan diatas penderitaan rakyat yang kian tak kunjung usai. Di dalam dasar Negara Indonesia pun telah disebutkan Pancasila Sila ke lima, “ “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila ini mengandung pemahaman segala peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan harus berdasarkan atas dasar keadilan dan kesejahteraan yang mencakup keseluruhan rakyat. Akan tetapi realitas yang ada saat ini adalah seakan-akan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh para legislator hanya mementingkan profit dari kelompok ataupun golongan partai tertentu. Kalau memang Negara ini merupakan negara hukum demokrasi, seharusnya aturan-aturan dibuat berdasar hukum murni sesuai teori yang diungkapkan oleh Hanskelsen dalam Apure of Law. Hukum yang murni tanpa ada rekayasa politik dalam pembuatannya, maka bangsa Indonesia mampu memajukan diri karena tidak diributkan oleh kepentingan-kepentingan politik dibalik hukum yang menjadi produk politik tersebut. Stagnasi bangsa kita dikarenakan selalu diutamakannya kepentingan-kepentingan individu kelompok dengan tidak memikirkan akan masyarakat umum. Arrtinya selain factor politik yang terpenting lagi yaitu factor moralitas anak bangsa Indonesia yang dicerminkan dalam kasus-kasus hukum pidana baik itu kejahatan maupun pelanggaran. Maraknya korupsi di sana-sini, membuktikan bahwa masih rendahnya moralitas bangsa Indonesia.Kasus-kasus korupsi telah mengakar dalam tubuh bangsa Indonesia baik dari tingkat pusat sampai dengan tingakt daerah bahkan pedesaan. Meskipun telah dibentuk Komisi Pembrantasan Korupsi/KPK, namun komisi tersebut tidak akan mampu berjalan DENGAN BAIK tanpa dibantu oleh sikap masyarakat untuk tidak melakukan tindakan korupsi sekecil apa pun. Adanya komisi untuk menangani korupsi demi tegaknya hukum dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar tegaknya konstitusi Indonesia , tidak akan mampu berjalan dengan baik dalam membangun bangsa tanpa dukungan real dari masyarakat.  Pra amandemen UUD 1945, konstitusi Indonesia bersifat regit sehingga sama sekali tidak ada perubahan mengenai batang tubuh dari UUD tersebut. Agar meningkatnya kualitas perpolitikan Indonesia dan menjaga ketertiban tata Negara serta  pemerintahan Indonesia maka padaera  reformasi tepatnya pada tahun 2000 dirubahlah beberapa isi konstitusi yang disesuaikan dengan kondisi sosiologis bangsa dan  tidak juga lepas dari kerangka filosofis bangsa Indonesia. Empat kali perubahan UUD 1945 ternyata memberikan progresifitas dalam berbangsa dan bernegara. Konstitusi yang semakin baik dalam mengatur tata Negara Indonesia semakin baik pula keadaan politik Indonesia, meskipun belumm sesuai dengan konsep Negara hkum demokrasi yang diharapkan terciptanya masyarakat madani.  Sejauh mana penegakkan hukum di dalam demokrasi bangsa Indonesia sehingga terciptanya maysarakat madani yang didasarkan atas landasan ideal Pancasiala dan dasar konstitusional  UUD 1945. Hal-hal diatas tersebut merupakan latar belakang histories dan landasan sosiologis masyarakat bangsa serta tidak mengesampinkan aspek filosofis dalam menerapkan dasolen dan dasien. Dalam karya ini, penulis menggunakan teori-teori tentang politik hukum, teori hukum murni, dan teori tentang Negara hukum dan demokrasi. Atas teori-teori tersebut maka penulis akan membandingkan konsep/teori yang telah ada dengan implementasi ataas teori-teori yang telah dilaksanakan oleh pejabat pemerintah. Bukan berarti penulis mengkritisi kinerja pemerintah secara totalitas, akan tetapi penulis pun mengkritisi respon masyarakat yang terlebih kaum intelektual yang merupakan kaum yang mampu berbuat banyak atas kinerja pemerintah. Karya ini akan menekankan bagaimana fenomena penegakkan hukum di Indonesia yang merupakan Negara hukum demokrasi. Dengan demikian penegakkan hokum/law inforcement yang baik  dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan Negara untuk menciptakan Negara yang demokratis. Keberhasilan demokratisasi Indonesia tidak hanya ditandai dengan sempurnanya lembaga Mahkamah Konstitusi dalam mengawal konstitusi, tetapi peranan masyarakatlah yang lebih menentukan dalam proses demokratisasi. Dengan mengetahui latar belakang sejarah, sosiologis bangsa dan hakikat filosofis bangsa Indonesia, maka masyarakat Indonesia akan bangkit dari keterpurukkan yang tak kunjung berakhir pula. B. Rumusan Masalah 1.  Bagaimanakah perkembangan demokrasi Indonesia yang mengalami empat kali  perubahan istilah? 2.  Apakah penegakkan hukum dalam rangka mewujudkan masyarakat madani telah berjalan dengan adil dan bijaksana? 3.   Apakah hubungan penegakkan hukum, demokrasi dan masyarakat madani? 4.   Bagaimanakah langkah konkret atas peraturan perundang-undangan?  C. Tujuan Karya Tulis Karya tulis ni memiliki tujuan sebagai berikut: a.    Mengetahui fenomena social politik Indonesia. b.    Membandingan sejarah politik Indonesia dari masa ke masa. c.    Memahami permasalaahn mendasar bangsa Indonesia. d.    Berusaha memahami dan mengimplementasikan konstitusi sebagai langkah memajukan bangsa. e.    Memahami cirri masyarakat madani dan berusaha untuk mewujudkannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. D. KEGUNAAN  Kegunaan karya tulis ini diantaranya: a.    Berguna bagi para pejabat pemerintah pusat untuk memahami keadaan bangsa yang diungkapkan oleh masyarakat melalui Mahkamah konstitusi sebagai penyelenggara lomba karya tulis ini serta sebagai Mahkamah Konstitusi akan mampu mengetahui seberapa jauh pengamatan masyarakat terhadap keaedaan bangsa ini dan mejaga untuk tetap menjaga demokratisasi Indonesia.  b.    Karya tulis ini akan bermanfaat bagi pmebaca untuk mengetahui sebrapa jauh implementasi pemerintah dalam penegakkan hukum dan respon masyarakat terhadap pemerintah. Karya tulis ini pun bermanfaat untuk dijadikan kritikan terhadap pemeirintah bahwa masyarakat telah mengetahui konsep dan teori yang telah ada, namun implementasi dari konsep tersebut belum bias dipraktekkan oleh pemerintah.    BAB II   ISI  Demokrasi merupakan salah satu bentuk sistem politik yang telah dikonsepkan oleh para filosof Yunani yaitu Aristotels dan Plato. Namun dalam perkembangannya demokrasi mengalami kemajuan yang sangat pesat dan dijadikan sebagai system politik dalam penyelenggaraan di beberapa Negara di dunia. Demokrasi secara esensi adalah suatu system politik yang mendasarkan pada kedaulatannegara  ditangan rakyat. Atas dasar ini kemudian Negara Indonesia menerapkan sistem tersebut. Demokrasi di Indonesia mengalami perubahan sebanyak empat kali dalam penyebutan demokrasi sejak masa Soekarno hingga masa reformasi. Keempat perubahan-perubahan tersebut belum mampu untuk menentukan karakter bangsa yang permanen karena konsep yang inkonsistensi para founding fathers untuk menetapkan system yang tepat, seakan-akan Negara kita sebagai objek coba-coba penerapan sistem politik demokrasi. Demokrasi di Indonesia memiliki istilah yang bermacam-macam, pada masa Sukarno demokrasi disebut dengan demokrasi libral yang kemudian berubah menjadi demokrasi terpimpin. Ternyata pada masa Sukarno pun belum memberikan sebuah kemajuan dalam bernegara sehingga pada masa Suharto demokrasi yang diterapkan oleh Sukarno dirubah menjadi demokrasi Pancasila. Masa Suharto atau kita sering menyebut masa orde baru terhapus oleh lahirnya reformasi yang kemudian merubah iklim perpolitikkan di Indonesia.  Tulisan ini akan mecoba mengupas bagaimana proses demokratisasi masa reformasi dengan konsep mereformasi disegala bidang dalam penyelenggaraan Negara guna mewujudkan masyarakat madani/civil society. Hakikatnya teori demokrasi memberikan makna bahwa kekuasaan ditangan rakyat sesuai UUD 1945 pasal 1 (2) Dasar yang mengilhami itulah yang disebut dengan konstitusi. Konstitusi sebagai Ground Norm (Hanskelsen) atau sebagai Staat Vundamental Norm (Hansky Wisky) merupakan hasil dari kontrak social antara pemerintah dan rakyat. Dengan demikian segala sesuatu yang tentang penyelenggaraan Negara haruslah berpedoman pada dasar hukum tersebut, sehingga proses pelaksanaan kenegaraan teratur dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sebagai Negara hukum  yang mana telah dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 1 (3) secara eksplisit disebutkan bahwa :Negara Indonesia adalah Negara hukum. Konsekuensinya bahwa Negara yang melegitimasi dirinya adalah Negara hukum , maka seluruh masyarakat Indonesia harus taat terhadap hukum yang telah berlaku agar tercapai tujuan Negara seperti yang dicita-citakan dalam preambul UUD 1945.  Proses demokratisasi hingga saat ini ternyata belum mampu menciptakan nilai-nilai demokrasi yang diharapkan yang kemudian tercipta suatu masyarakat madani di Negara Indonesia. Munculnya reformasi diharapkan mampu menciptakan masyarakat madani dengan bercirikan peraadaban yang tinggi, terdapat gerakkan-gerakkan kemasyarakatan yang membawa aspirasi masyarakat, menjunjung tinggi hukum, kemandirian yang tinggi dalam bernegara. Masyarakat madani tentunya akan memiliki budaya politik partisipan yang itu merupakan salah satu budaya dalam proses demokrasi  nilai-nilai budaya politik. Terbentuknya budaya politik partisipan tentunya akan mendorong terwujudnya masyarakat madani yang mana mampu menegakkan hukum dengan adil dan bijaksana.  Hal terpenting dari Negara hukum yang sesuai dengan UUD 1945 Pasal 1 (3) yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan Negara hukum adalah sebuah konsekwensi dan konsisten dalam merealisasikan agenda reformasi harus mampu menegakkan supremasi hukum sesuai dengan regulasi tata perundang-undangan yang berlaku di Negara Indonesia. Penegakkan supremasi  hukum memang tidak mudah di Indonesia yang telah mengalami keterpurukkan moralitas baik dari segi norma hukum, norma kesopanan, norma kesusilaan bahkan sudah tidak sesuai lagi dengan doktrin-doktrin agama. Keterpurukkan bangsa Indonesia bisa dilihat banyaknya informasi-informasi tentang kriminal dan asusila yang tidak kunjung berkurang. Keadaan inilah yang memprihatinkan para orang-orang yang benar-benar ingin terciptanya  moralitas yang baik dalam bangsa ini. Penegakkan hukum harus melibatkan berbagai pihak, tentunya catur wangsa, masyarakat serta instansi-instansi Negara.Namun realita yang terjadi adalah sebaliknya, sehingga justru para catur wangsa malah banyak yang terjerat kasus hukum begitu pula dengan masyarakat dan instansi-instansi Negara missal DPR yang merupakan lembaga representative rakyat justru banyak juga terjerat kasus criminal. Kalau demikian bagaimana untuk menciptakan masyarakat madani bila seluruh komponen bangsa telah mengalami keterpurukkan moral?, sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawabsaat ini.  Sebagai Negara hukum/rechstaat sekaligus Negara demokrasi, maka prinsip-prinsip Negara demokrasi seharusnya ditegakkan agar terdapat kejelasan siapakah yang bertugas sebagai penegak hukum. Terdapat beberapa prinsip dalam Negara hukum demokrasi, yakni             Prinsip-prinsip negara hukum      Asas legalitas yaitu kebebasan warga negara berdasarkan undang-undang dan harus memberikan jaminan dari tindakan sewenang-wenang Perlindungan hak-hak asasi     Pemerintah terikat pada hukum     Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakkan hukum     Pengawasan oleh hakim yang merdeka          Prinsip-prinsip demokrasi     Perwakilan politik     Pertanggungjawaban politik     Pemencaran kewenangan     Pengawasan dan kontrol     Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum     Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.  Prinsip-prinsip tersebut merupakan integralistik negara hukum dan demokrasi sehingga pada poin ”rakyat diberikan hak untuk mengajukan keberatan” mengindikasikan bahwa hak konstitusi waganegara sangat dijunjung tinggi. Hal tersebut didukung oleh UU no/24/2003 tentang MK yang mana pada pasal 51 dinyatakan bahwa menjamin perorangan, masyarakat adat dan badan hukum untuk mengajukan judicial review. artinya bahwa hak seseorang atau rakyat dalam keberatannya dibidang hukum diberikan hak untuk mengajukan judicial review yang tercantum dalam UU terebut. Berdasarkan UU tersebut maka MK berusaha untuk menegakkan hak-hak konstitusi warganegara serta menjaga prinsip-prinsip demokrasi agar senantiasa terjaga melalui perundang-perundangan yang dibuat. Pasca reformasi, terdapat perubahan secara mendasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihatdi dalam  amandemen UUD 1945 yang sebagian besar telah diamandemen. Mengapa demikian? Karena untuk mewujudkan masyarakat madani perlu diadakannya pembaharuan-pembaharuan tentang regulasi-regulasi terutama konstitusi Indonesia sehingga legitimasi atas negara hukum lebih kuat. Meskipun telah mengalami empat kali dalam perubahan UUD 1945, namun praktik penyelenggaraan negara Indonesia masih carut- marut terutama dalam bidang hukum.  Menurut pendapat penulis apabila segala sesuatu yang dilandaskan pada hukum dan diterapkan sesuai dengan aturan-aturan tersebut, maka selain bidang hukum mampu berjalan dengan baik. Pendapat tersebut didasarkan pada teori yan dikemukakan oleh Mahfud MD dalam teori politik dan hukum, maka penulis mengutip bahwa hukum determinan politik yang seharusnya menjadi landasan dalam berbuat. Tetapi realitas mengatakan bahwa hukum yang ada di Indonesia merupakan produk politik semata yang lebih menguntungkan kepentingan golongan sendiri daripada kepntingan bangsa secara keseluruhan.  Konsep negara hukum modern yaitu adanya pengakuan normative dan empiric akan prinsip supremasi hukum, maksudnya adaalah bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum pada hakikatnya pemimpin tertinggi bukanlah manusia tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum nang  yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum, sedangkan pengakuan empiric adalah pengakuan yang tercermin dalam prilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu supreme. Dengan supremasi hukum, maka yang berbicara bukanlah intik-intrik politik yang diformulasikan dalam sebuah peraturan perundang-undangan, akan tetapi penegakkan hukum yang murni dihasilakan oleh para legislator yang didasarkan atas aspek filosofis, sosiologis dan menghasilkan yuridis yang berkeadilan. Meskipun Indonesia merupakan penganut hukum positifisme, namun Indonesia berkembang di masa modern sehingga seharusnya mampu menerapkan konsep negara hukum material yang dikemukakan oleh Utrech. Uterch membagi konsep hukum negaramenjadi dua bagian, pertama, bahwa konsep negara hukum formil/klasik yang berarti negara hanya berpedoman pada kaidah normatif yang didasarkan atas kepastian hukum. Kedua, bahwa Utrech berpendapat dalam konsep negara hukum modern maka tidak hanya semata-mata kepastian hukum saja yang diterapkan akan tetapi lebih pada esensi hukum itu sediri yang bertujuan untuk mencapai suatu keadilan hukum. Artinya di era modern konsep negara hukum lebih berorientasi pada keadilan itu sendiri. Tegaknya supremasi hukum, sebuah indikasi jalannya proses demokrasi di Indonesia. Menurut penulis bahwa Indonesia belum secara murni telah menjadi negara yang demokrasi secara utuh, akan tetapi masih dalam tahap transisi demokrasi meski telah terwujud pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah secara langsung yang merupakan salah satu ciri negara demokrasi. Demokrasi yang dipilih pada masa reformasi ini ialah demokrasi yang menjunjung tinggi asas LUBER dan JURDIL sesuai dengan UUD 1945 Pasal 22 E (1), serta tegaknya supremasi hukum. Konsep negara hukum demokrasi inilah yang sebenarnya bangsa Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkanl. Namun paradikma yang demikian belum seutuhnya akan diterapkan, terbukti dengan adanya wacana pemilihan gubernur oleh DPRD membuktikan bahwa Indonesia belum seutuhnya menerapkan konsep demokrasi LUBER dan JURDIL. Indonesia masih dalam tahap demokrasi transisi yang artinya masih mencari bentuk atau teori yang sesuai dengan keadaan bangsa saat ini.  Secara teoritis memang terdapat dua bentuk demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Salah satu dari keduanya telah dipilih dalam era reformasi oleh bangsa Indonesia untuk menerapkan konsep demokrasi langsung sehingga produk hukum yang ada mengatur bagaimana pemilihan tersebut bisa berjalan dengan baik menurut undang-undang yang berlaku. Namun wacana pemilihan gubernur oleh DPRD telah keluar dari konsep demokrasi yang dijalankan hingga saat ini. Undang-undang dasar 1945 pasal 18 (4) ”Gubernur, bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota  dipilih secara demokratis”. Ayat tersebut terkandung kata  demokratis yang memiliki makna ambigu. Kata tersebut dapat diartikan bahwa demokratis dapat bermakna demokratis yang melalui perwakilan atau demokratis secara langsung. Namun UUD bukanlah aturan yang spesifik  akan tetapi UUD 1945 merupakan ground norm sehingga harus diperjelas dengan aturan-aturan perundang-undangan yang lain. Sehingga UUD 1945 Pasal 18 (4) ini diperjelas oleh UU no/32/2004 tentang pemerintahan daerah yang salah satu isinya menjelaskan bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung. Selain itu dalam pasal 19  UU tersebut dikatakan bahwa kedudukkan DPRD dan gubernur atau legislatif dan eksekutif sejajar sehingga tidak logis apabila legislatif memiliki kekuasaan untuk memilih gubernur/eksekutif. Apabila itu tetap terlaksana maka menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebab tidak hanya inskonstitusional terhadap pasal 18 (4) dan UU no/32/2004 juga, terlebih akan melanggar tugas pokok dan fungsi DPR yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 20 A (1) yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.  Kasus tersebut salah satu contoh bahwa masih terdapat instabilitas politik dalam penyelenggaraan kenegaraan.  Instabilitas politik tersebut disebabkan karena pemahaman demokrasi yang hanya dibatas atas demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial. Apabila difahami sebagai demokrasi substansial, maka yang harus dilaksanakan adalah konsep pemilihan langsung oleh rakyat tanpa ada excepsi atau pengecualian atas lembaga pemerintahan. Pemilihan langsung oleh rakyat terhadap gubernur justru akan memberikan legitimasi yang kuat dimata masyarakat daerah tersebut, karena pemilihannya bukan atas dasar pemilihan yang dilakukan oleh DPRD dan ditetapkan oleh presiden. Memang sebenarnya pada prinsipnya konsep negara hukum/rechstaat mengandung ciri lembaga perwakilan, akan tetapi bukan berarti lembaga perwakilan tersebut yang memilih eksekutif. Secara substansial bahwa negara hukum menurut Taher Azhary terdapat sembilan prinsip dalam konsep negara hukum yang ideal, yaitu prinsip kekuasaan sebagai amanah, prinsip musawaroh, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap HAM, prinsip kesejahteraan dan prinsip ketaatan rakyat. Dalam pandangan Taher Azhari, adanya kesembialan prinsip itu menetukan suatu Negara dapat disebut Negara hokum yang ideal atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebutmaka sangat sesuai dengan keadaan sosiologis bangsa dan filosofis kebangsaan sehingga perlu penerapan prinsip-prinsip Negara hokum demokrasi dengan teratur sesuai dengan konstitusi Negara Indonesia.  Penegakkan hukum, demokrasi dan masyarakat madani ini saling keterkaitan. Interelasi ketiga hal tersebut terkait dengan implementasi atas konstitusi Negara Indonesia. Penegakkan hukum telah diatur di dalam konstitusi siapakah yang menegakkan hukum di negeri ini. Penegakkan ini tidak hanya sebatas penegakkan hukum di wilayah permasalahan pidanaan, akan tetapi penegakkan hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara yang telah diatur oleh konstitusi. Aparatur penegak hukum telah diatur dan dibentuk melalui UUD 1945 BAB IX tentang kekuasaan kehakiman yang kemudian badan-badan kehakiman tercantum di dalam pasal 24 A (Komisi Yudicial), pasal 24 B (Mahkamah Agung), dan pasal 24 C (Mahkamah Konstitusi) sehingga konstitusi Indonesia pasca amandemen lebih spesifik siapa sajakah aparatur negara atau badan-badan kehakiman yang berwenang untuk menangani dan menegakkan hukum di bangsa ini. Dengan dibentuknnya  Komisi Yudicial, Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi, telah jelas pengaturan penegakkan hukum atas undang-undang dasar atau pun penegakkan hukum atas undang-undang dan peraturan tata perundang-undangan yang telah ditetapkan sehingga mampu mengakomodir permasalahan-permasalahan kenegaraan. Tentunya supremasi hukum yang ditegakkan harus disertai dengan penegak hukum yang moralitasnya baik, tanpa moralitas yang baik maka penegakkan hukum tidak dapat ditegakkan meskipun telah terdapat system yangbaik  dan peraturan perundang-undangan yang kuat pula, namun tanpa moralitas yang baik maka tidak akan mampu terwujud. Terwujudnya penegakkan hukum maka telah terwujud pula demokrasi yang transparan, berkeadilan dalam hukum, serta yang terpenting lagi mampu memajukan kesejahteraan masyarakat yang kemudian terwujudlah masyarakat madani dalam Negara hukum demokrasi Indonesia. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan prinsip dasar dalam membangun bangsa yang bermartabat.  Penegakkan hokum adalah suatu proses untuk mewujudkan keniginan-keinginan hokum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hokum adalah fikiran-fikran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturn hokum. Proses pengakkan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hokum. Perumusan pembaut hokum yang dituangkan dalam peraturan hokum akan turut menentukan bagaimana penegakkan hokum itu dijalankan. Dalam kenyataannya, proses penegakkan hokum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hokum.   Tingkah laku orang dalam masyarkat tidak bersifat suka rela, melainkan didisiplinkan oleh suatu jaringan kaidah-kaidah yang terapat dalam masyarakat. Kaidah-kaidha tersebut semacam rambu-rambu yang mengikat dan membatasi tingkah laku orang-orang dalam masyarkat, termasuk di dalamnya para pejabat penegak hokum. Peranan paeraturn hokum cukup besar dalam hubungannya dengan pelaksanaan peraturan yang dilakukan oleh para penegak hokum. Dengan kata lain, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hokum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hokum yang harus dijalankan tersebut dibuat. Hukum yang dijadikan panglima dalam menjalankan penyelenggaraan Negara, justru dipolitisasi oleh para pemegang penegak hokum dan legislator karena hanya untuk mempertahankan political interest group. Menurut penulis terdapat beberapa hal yang menyebabkan belum tegaknya hokum secara konfrehensif dan berkesinambungan, yaitu: a.    Primordialisme partai politik:  Bartai politik merupakan sarana untuk menampung aspirasi rakyat dalam ikut serta pembangunan Negara. Melalui partai politik inilah suara rakyat ditampung dan disalurkan kepada pemerintah. Terdapat empat fungsi partai menurut Miriam Budiharjo, pertama, fungsi sarana komunikasi politik. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan anekaragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang siuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hinlang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan “penggabungan kepentingan” (interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan diluruskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan “perumusan kepentingan” (interest articulation).  Semua kegiatan diatas dilakukan oleh partai politik. Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijakan. Usul kebijakan  ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan  umum atau public policy. Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik. Di lain pihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebar luaskan rencana-rencana dan kebijakan  pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dimana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat. Kedua, fungsi sosialisasi politik, partai politik juga main peranan sebagai sarana sosilisasi politik (instrument of political socialization). Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa.  Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hubungan ini, partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan  dalam pemilihan umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai berusaha menciptakan “image” bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Di samping menanamkan solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga Negara dan menempatkan kepentingan sendiri ddibawah kepentingan nasional. Di Negara-negara baru partai-partai politik juga berperan memupuk identitas nasional dan integrasi nasional.  Ketiga fungsi rekrutmen politik, partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang didapat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik.  Keempat  fungsi konflik management dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik  partai politik berusaha untuk mengatasinya.   Dalam partai polititk sering dilihat bahwa fungsi-fungsi tersebut diatas tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan, misalnya informasi yang diberikan justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam masyarakat: yang dikejar bukan kepentingan nasional akan tetapi kepentingan partai yang sempit ddengan akibat pengkotakan politik atau konflik tidak diselesaikan, akan tetapi malah dipertajam.  Dalam Negara demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, kalau dalam masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga Negara ke dalam masyarakat umum. Keempat fungsi diatas, di era reformasi ini ppun tidak melaksanakan fungsinya dengan baik. Namun partai-partai yang bermunculan di era sekarang ini hanya mementingkan primordialisme partai politik itu saja sehingga masyarakat sebagai pemilik kekuasaan terhambat dalam bertanggungjawab sebagai warga Negara.  b.    Moralitas tiap individu: Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat itulah yang sebenarnya yang akan dicapai oleh negara melalui peraturan-peraturan perundang-undangan. Namun peraturan-peraturan tersebut tidak akan dapat terwujud tatkala moralitas para pemimpin bangsa tidak mampu memberikan percontohan yang baik, karena di dalam moralitas yang baik maka akan berjalan pua aturan-aturan yang telah dibuat, bukan hanya sekedar normatif saja akan tetapi akan menjadi norma-norma yang diimplementasikan di dalam penegakkan hukum.  Haidar Bagir mengungkapkan secara singkat moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia”, sedangkan Burhanuddin Salam menyatakan bahwa Moralitas merupakan sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu. Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku baik dan buruk. Sehingga moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk kongkrit tentang bagaimana ia harus hidup dan bertindak secara baik dan dapat menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Jadi, moral adalah sistem nilai tentang baik atau buruknya perbuatan manusia. Kedua hal diatas merupakan analisis penulis terhadap tidak kunjung tegaknya hukum di Indonesia, meskipun teori-teori tentang hukum telah habis di gudang. Apabila hal-hal yang vundamental tersebut tidak kungjung dihilangkan, maka yang terjadi adalah instabilitas politik, kekacauan sosial serta maraknya kejahatan dan pelanggaran norma-norma hukum bahkan agama.  Untuk menegakkan hukum di negara Indonesia memang harus dibenahi individu dalam suatu sistem aparat penegak hukum Terbukti dengan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mendorong masyarakat menilai bahwa para penegak hukum tidak melaksanakan dengan adil akan tetapi hanya mendasarkan pada kepastian hukum saja. Individu yang masuk dalam ranah penegak hukum selain yang dibenahi moralitasnya, sistem pun  harus memenuhi asas keadilan dan manfaat. Dengan demikian maka penegakkan hukum akan lebih adil dan bijaksana terhadap kasus-kasus yang terjadi.  Pasal 1 UU. No. 19/1974 mengatakan bahwa ”kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum RI”. Berdasarkan undang-undang tersebut maka hakim dalam memutuskan sebuah perkara diharuskan memenuhi aspek keadilan bukan saja sekedar menerapkan kepastian hukumnya. Terdapat dua unsur yang ikut menentukan dalam penyelsaian masalah hukum,  Pertama, tujuan yang hendak dicapai oleh penyelesaian sengketa. Apabila tujuan yang hedak dicapai adlah untuk merukunkan para pihak sehingga mereka selanjutnya dapat hidup bersama kembali dengan baik sesudah penyeesaiaan sengketa, maka orang dapat mengharapkan bahwa tekanan disitu akan lebih diletakkan pada cara-cara mediasi dan kompromi.  Seblaiknya apabila tujuannya adalah untuk melakukan penerapan paraturan-peraturan maka cara-cara penyelesaian yang bersifat birokratis mungkin akan lebih banyak dipakai. Artinya dilihat dari permasalahan yang  ada, setelah melihat permasalahan yang terjadi maka perlu mengambil sebuah tindakkan untuk menerapkan kepastian hukum dengan landasan keadilan yang sebenarnya.  Kedua, tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarkat. Semakin tajam perlapisan, semakin besar pula perbedaan kepentingan dan nilai-nilai yang ada. Dalam keadaan tersebut, maka lapisan atau golongan yang dominan akan mencoba untuk mempertahankan dominasinya dengan cara memaksakan berlakunya peraturan-peraturan yang menjamin kedudukkannya.   Penguatan fit and propertes dalam penyeleksian penegak hukum, tidak hanya penyeleksian dalam kemampuan dibidang hukum akan tetapi yang lebih terpenting dari kondisi bangsa Indonesia saat ini adalah kecakapan dalam bermoral. Ini sebuah langkah konkret yang harus diterapkan oleh para pejabat pemerintah negara Indonesia bila masih berkeingninan memajukan sebuah bangsa.Sebuah sistem yang baik, maka akan menghasilkan sebuah implementasi peraturan yang baik pula demikian sebaliknya. Ironisnya sangat sedikit manusia-manusia yang bermoral baik di dalam suatu sistem. Negara Indonesia yang memiliki konsep negara hukum demokrasi di era reformasi ini sekuat mungkin menciptakan hukum yang adil sehingga menghasilkan masyarakat yang toleransi tinggi yang memiliki peradaban yang tinggi pula.   BAB III KESIMPULAN  Pemaparan diatas akhirnya penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu: 1.    Perkembangan demokrasi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi mengalami perubahan penyebutan sebanyak empat kali. Perubahan nama tersebut sebenarnya memiliki maksud dan tujuan menurut pembentuknya. Namun perubahan-perubahan itu pun hingga sekarang belum mampu mewujudkan masyarakat dan negara yang sejahtera sesuai dengan tujuan negara dalam preambule UUD 1945.  2.    Proses penegakkan hukum di Indonesia belum sepenuhnya tegak karena faktor-faktor primordialisme partai politik dan rendahnya moralitas para penegak hukum. 3.    Langkah konkret yang harus diambil adalah penguatan dalam penyeleksian penegak hukum melalui uji moralitas oleh pihak-pihak yang berwenang.  4.    Dengan tegaknya hukum yang dengan sebenar-benarnya maka terwujud negara hukum demokrasi yang menghasilkan masyarakat madani.  Saran penulis: Bagi sistem kehakiman yang telah baik dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tetap dipertahakn dan jadilah profokator dalam hal kebaikkan. Suara masyarkat adalah suara yang sebenarnya.    DAFTAR PUSTAKA  Raharjo, Sacipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosoiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.      Mahfud MD, Moh, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.            Mahfud MD, Moh, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: Citra Aditiya Bakti, 2007. Budiarja, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1983. file:///C:/Users/Fikri/Downloads/Pengertian%20Moral,%20Akhlak%20dan%20Etika.htm