Laman

Minggu, 19 Agustus 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan Constitutional Review di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalankan fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembaga-lembaga lain seperti badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Indonesia merupakan negara hukum modern yang menerapkan lembaga pengujian konstitusional dengan cara membentuk Mahkamah Konstitusi RI. Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang menafsirkan konstitusi (the intepreter of constitution) dan sebagai penjaga demokrasi tersebut, dalam perjalanannya telah banyak memberikan perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan Indonesia. Seperti contoh dalam hal pengujian Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi terkadang memberikan putusan atas pengujian tersebut dengan memuat Ultra Petita. Artinya dalam menguji konstitusionalitas sebuah Undang-Undang, putusan Mahkamah Konstitusi melebihi apa yang telah dituntut oleh pihak yang berperkara. Hal tersebut menimbulkan perdebatan oleh para akademisi maupun para praktisi hukum di Indonesia. Sebagai negara yang menganut sistem hukum Civil Law, para pihak yang tidak menerima adanya putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi menganggap lembaga tersebut tidak memiliki kepastian hukum karena tidak sesuai dengan apa yang telah dimohonkan. Putusan Ultra Petita yang dilakukan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam hukum yang bersifat keadilan substantif, artinya tidak terpaku pada keadilan prosedural yang hanya berdasarkan atas bunyi Undang-Undang saja. Putusan yang memuat Ultra Petita tersebut pernah dilakukan oleh Jhon Marshall, seorang hakim agung Amerika yang dalam memutuskan perkara Marbury Vs Madison mengeluarkan keputusan yang sangat kontroversial, yaitu membatalkan Undang-Undang dan harus diuji konstitusionalitasnya. Tuntutan Marbury kepada Mahkamah Agung adalah agar Mahkamah Agung memerintahkan pemerintahan Thomas Jefferson mengeluarkan the Write of mandamus. Namun tuntutan itu ditolak dan John Marshall memberikan putusan yang berisi pembatalan Undang-Undang dan melakukan Constitutional Review. Hasil keputusan ini mendapatkan reaksi yang kontroversial karena belum pernah ada dalam dunia hukum di Amerika seorang hakim membatalkan Undang-Undang. Tindakan yang dilakukan oleh John Marshall merupakan tindakan hakim yang memutus perkara melebihi dari tuntutan pemohon. Dari sejarah di atas, Ultra Petita merupakan hal yang niscaya untuk diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi agar putusan tersebut adil dan konstitusional. Esensi dari sebuah Putusan Ultra Petita adalah perbedaan antara tuntutan yang diajukan oleh pemohon dengan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya permohonan pengujian Undang-Undang tersebut maka hakim konstitusi akan menilai tuntutan pemohon apakah pasal yang diujikan merupakan jantung dari Undang-Undang atau tidak, sehingga selanjutnya Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan putusannya, yaitu Ultra Petita atau tidak. Disamping itu, Undang-Undang yang diujikan bila belum memenuhi asas manfaat bagi keseluruhan publik, maka Mahkamah Konstitusi juga berpotensi untuk mengeluarkan putusan Ultra Petita. Hal inilah yang menjadi kontroversial dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia saat ini. Contoh putusan yang mengandung Ultra Petita yaitu Pengujian Undang-Undang nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan nomor perkara 006/PUU-IV/2006. Para pemohon memberikan pokok perkaranya yaitu: Pokok Perkara : Pasal 1 angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28I ayat (2) dan (5) menyangkut kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pemohon dengan memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 1 angka 9 UU KKR hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam ketentuan umum dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan terkait dengan pasal-pasal yang lain. Menyangkut Pasal 44 UU KKR, Mahkamah Konstitusi menilai ketertutupan protes hukum melalui pengadilan HAM ad hoc apabila memperoleh penyelesaian di KKR merupakan akibat logis dari mekanisme alternative dispute resolution, sehingga Mahkamah berpendapat tidak terdapat dasar dan alasan konstitusional yang cukup untuk mengabulkannya. Menyangkut Pasal 27 UU KKR, Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan tersebut mengandung kontradiksi yakni menyangkut tekanan yang melihat pada pelaku secara perorangan dalam individual criminal responsibility (penanggungjawaban pidana seseorang). Padahal peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, baik pelaku maupun korban serta saksi-saksi lainnya sungguh-sungguh sudah tidak mudah ditemukan lagi. Rekonsiliasi antara pelaku dan korban yang dimaksud dalam UU KKR menjadi hampir mustahil diwujudkan, jika dilakukan dengan pendekatan individual criminal responsibility. Penentuan adanya amnesti sebagai syarat, merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945. Dikabulkannya permohonan mengenai Pasal 27 UU KKR membuat UU KKR secara keseluruhan tidak bisa dilaksanakan karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada Pasal 27 UU KKR. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan para Pemohon sehingga UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, Mahkamah memerintahkan pemuatan Putusan Nomor 006/PUU-VI/2006 ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Contoh putusan di atas merupakan salah satu bentuk putusan yang memuat Ultra Petita. Hal tersebut dapat dilihat dari permohonan Pengujian Undang-Undang KKR yang mana pemohon hanya menginginkan pengujianPasal 1 angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, namun Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU KKR tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan karena pasal 27 merupakan muara atau jantung dari UU tersebut sehingga bila pasal 27 dibatalkan maka dengan sendirinya UU tersebut batal seluruhnya menurut hukum. Jika putusan Ultra Petita dinyatakan tidak adil oleh sebagian pakar hukum yang tidak menerima akan adanya putusan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa keadilan menurut Hans Kelsen merupakan pertimbangan nilai yang bersifat subjektif, maksudnya setiap hasil keputusan lembaga peradilan dapat adil bagi orang tertentu dan dapat dianggap tidak adil bagi orang lain. Namun setidaknya keadilan yang akan dicapai oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang memuat Ultra Petita merupakan keadilan dan kebenaran berdasarkan konstitusi Indonesia. Konstitusi yang merupakan ground norm bangsa Indonesia harus dijadikan dasar dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara. Dengan demikian apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang memuat Ultra Petita didasarkan atas konstitusi, berarti Mahkamah Konstitusi menjalankan konsensus masyarakat Indonesia yang telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Mahfud MD, dalam melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi, memiliki rambu-rambu yang harus ditaati. Misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh berisi norma (bersifat mengatur), Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus melebihi permohonan (Ultra Petita), atau dalam hal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan atau kesalahan rekapitulasi penghitungan suara. Namun, praktiknya rambu-rambu tersebut sulit selalu ditaati. Mahkamah Konstitusi terkadang perlu membuat terobosan-terobosan hukum untuk mewujudkan keadilan. Munculnya perdebatan mengenai putusan Ultra Petita dalam sistem hukum Eropa Continental maupun sistem hukum Anglo Saxon, penyusun tertarik untuk membahasnya melalui perspektif Fiqh Siyasah. Fiqh Siyasah menitik beratkan pada penyelenggaraan Negara melalui praktik-praktik politik dengan mengutamakan kemaslahatan rakyat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Fiqh Siyasah akan memberikan pandangan bahwa putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi boleh atau tidak diterapkan untuk menegakkan hukum yang menyangkut kepentingan umum masyarakat. B. Pokok Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil sebuah pokok masalah, yaitu: Bagaimana pandangan Fiqh Siyasah terhadap putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Memberikan pemahaman bahwa ruh hukum bukan berada pada tekstual perUndang-Undangan, akan tetapi terdapat di dalam keadilan dan manfaat putusan mahkamah Konstitusi. b. Memberikan pemahaman bahwa Islam memiliki pandangan mengenai Ultra Petita Mahkamah Konstitusi yang merupakan kajian ketatanegaraan negara hukum modern berdasarkan kaidah syari’ah dan fiqih serta ushulfiqh. 2. Kegunaan a. Sebagai sumbangan ide pemikiran yang dapat dijadikan dasar rujukan dalam pengayaan teori ketatanegaraan Islam yang berkembang di dunia modern. b. Bermanfaat bagi penyusun dan para pembaca dalam memahami problematika putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi berdasarkan perspektif Fiqh Siyasah. D. Telaah Pustaka Pembahasan mengenai Mahkamah Konstitusi dan putusan-putusannya baik Ultra Petita maupun bukan Ultra Petita, telah banyak ditulis oleh para pakar hukum tata negara maupun para akademisi. Diantaranya adalah: Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Ach. Tahir dengan judul “Mahkamah Konstitusi Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam”. skripsi ini membahas mengenai kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam konsep peradilan Islam. Di dalam skripsi tersebut juga memaparkan konsep keberadaan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan konsep Al-Qur’an, As-Sunnah dan kaidah ushuliah. Kedua, tulisan ilmiah yang ditulis oleh Miftakhul Huda dengan judul “Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”. Tulisan ini membahas kebenaran dari putusan Ultra Petita yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan atas kedudukan Mahkamah Konstitusi di dalam konsep ketatanegaraan Indonesia. Ketiga, tulisan yang ditulis oleh Ria Casmi Arrsa dengan judul “Ultra Petita Sebagai Bentuk Alternatif Dalam Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) MK RI “ Fakultas Hukum Unibra. Tulisan ini memaparkan hukum beracara dalam peradilan konstitusi dan putusan Ultra Petita peradilan konstitusi merupakan terobosan bagi penegakkan hukum di Indonesia yang berkeadilan. Selain itu dengan adanya Ultra Petita menandakan bahwa hakim konstitusi telah berbuat untuk menemukan hukum bukan hanya terpaku pada teks perUndang-Undangan saja. Berdasarkan beberapa tulisan-tulisan di atas, sejauh pemahaman penyusun tulisan-tulisan tersebut hanya membahas putusan-putusan Ultra Petita yang didasarkan pada konsep hukum tatanegara serta terdapat pula pembahasan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam konsep hukum Islam. Dengan demikian penyusun ingin menegaskan bahwa hal yang berbeda antara tulisan-tulisan tersebut dengan skripsi ini adalah pada skripsi ini membahas putusan-putusan Ultra Petita berdasarkan konsep Fiqh Siyasah. E. Kerangka Teoritik Adapun kerangka atau landasan teori yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini menggunakan beberapa teori sebagai berikut: 1. Teori Fiqh Siyasah Siyasah yang berorientasi pada nilai-nilai syari’at yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan disebut Fiqh Siyasah atau siyasah syar’iyah. Abdul Wahab Khallaf memberikan pemahaman bahwa As-Siyasah As-Syariyyah Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengatur urusan umum dalam pemerintahan Islam dengan merealisasikan asas kemaslahatan dan meenolak bahaya selama tidak menyimpang batas-batas hukum dan dasar-dasarnya secara integral. Yang dimaksud dengan urusan umum dalam pemerintahan Islam adalah segala sesuatu tuntutan zaman, kehidupan sosial dan sistem, baik yang berupa Undang-Undang, keuangan, hukum, peradilan dan lebaga eksekutif, dan juga urusan Undang-Undang dalam negeri atau hubungan luar negeri. Menurut Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya “al-Turuq al-hukmiyyah” sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahhab Khallaf, as-Siyasah as-Syar’iyah itu sebagai sarana bagi umat muslim menuju kehidupan yang lebih baik dan menghindar dari kerusakkan, meskipun sistem ini tidak pernah diletakkan oleh Rasulullah Saw dan tidak ada wahyu yang turun karenanya. Hal tersebut mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan baik itu politik, sosial, ekonomi dan budaya demi menjamin keadilan hukum. Sedangkan dalam sejarah hukum Islam al-Maslahah al-mursalah atau istislah dikenal sebagai salah satu dari hasil ijtihad melalui al-ra’yu (akal) manusia. Yuris Islam yang telah berhasil menyusun teori itu ialah imam malik atau Malik bin Anas yang terkenal sebagai pendiri Mazhab Maliki. Teori hukumnya dinamakan al maslahah al mursalah yang dapat diterjemahkan “untuk kepentingan umum”. Selanjutnya digunakan istilah al maslahah. Menurut Imam Malik kepentingan atau kemaslahatan umum adalah salah satu dari sumber-sumber syari’ah, dengan tiga syarat yaitu : (1) kepentingan umum atau kemaslahatan umum itu bukan hal-hal yang berkenaan dengan ibadat, (2) kepentingan atau kemaslahatan umum itu harus selaras dengan jiwa syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber syari’ah itu sendiri dan (3) kepentingan atau kemaslahatan umum itu haruslah merupakan sesuatu yang esensial (diperlukan) dan bukan hal-hal yang bersifat kemewahan. Hal-hal yang diperlukan atau dibutuhkan merupakan upaya yang berkaitan dengan lima tujuan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh syatibi yaitu untuk melindungi agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda. Kepentingan berarti sesuatu dimana seseorang harus memperhatikan manfat, faidah atau keuntungan. Kepentingan tidak mendesak seperti halnya darurat. Seseorang harus ingat bahwa Islam menyediakan beberapa kemudahan bagi orang yang ditmpa kesulitan dan syari’ah mengakui keadaan darurat yang murni dan sah. Untuk menikmati kondisi darurat semacam itu, orang Islam diizinkan melampaui Nash hukum yang jelas, tetapi ia harus mengetahui tangungjawabnya kepada Allah jika bertindak kurang cermat. Sebagai lembaga peradilan yang melandaskan keputusan-keputusannya pada konstitusi yang merupakan ground norm bangsa Indonesia, maka sudah merupakan keharusan para hakim konstitusi mempertimbangkan putusan tersebut dengan rasa keadilan. Dalam Islam hakim bukan merupakan hal yang mudah untuk menjalankannya, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi seorang hakim. Terkait dengan kehakiman, Umar bin Khattab r.a. Pernah menjelaskan syarat-syarat hakim dan pengangkatannya kepada Abu Musa Al-Asy’ari. Penjelasan tersebut yaitu: “Sesungguhnya kehakiman adalah kewajiban yang pasti, dan Sunnah yang harus diikuti. Pahamilah, jika suatu perkara diajukan kepadamu Karena perkataan yang benar tidak akan bermanfaat jika tidak dilaksanakan. Perlakukan sama semua manusia dalam pandangan matamu, keadilanmu, dan kursimu agar orang yang berkedudukan tinggi tidak bermaksud jahat kepadamu dan orang lemah tidak patah semangat untuk mendapatkan keadilan darimu. Barang bukti itu harus diminta dari penuduh, dan sumpah harus diminta dari pihak yang tidak mengakui perbuatannya. Perdamaian itu diperbolehkan dilakukan antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram, dan mengharamkan sesuatu yang halal. Keputusan yang telah dikeluarkan kemarin jangan menghalangimu untuk mengkajinya ulang hari ini, karena kebenaran itu telah berlalu, dan mengkaji kebenaran itu lebih baik dari pada berlarut-larut dalam kebathilan. Pahamilah, dan pahamilah apa yang muncul dalam dadamu di antara hal-hal yang tidak ada dalilnya dalam Kitabullah, dan tidak ada pula dalam Sunnah Nabi-Nya. Dan kemudian ketahuilah semua perumpamaan, dan timbanglah sesuatu dengan sesuatu yang sama dengannya, beri batas waktu kepada orang yang mengklaim hak atau mengklaim memiliki barang bukti barang siapa memperlihatkan barang bukti, haknya diberikan kepadanya. Jika tidak begitu, ia diminta menganggap selesai permasalahnya, karena itu cara efektif untuk menghilangkan keraguan, dan memperlihatkan sesuatu yang tidak terlihat”. Dari penjelasan Umar bin Khattab di atas, dapat dipahami bahwa hal yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam memutuskan perkara adalah didasarkan atas nash atau peraturan tertulis yang berlaku serta keyakinan hakim dan berani berijtihad untuk menemukan hukum dengan mempertimbangkan kebenaran dan keadilan. Bila dikaitkan dengan Mahkamah Konstitusi maka kebenaran tersebut adalah kebenaran konstitusional, sedangkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan substantif berdasarkan kemaslahatan. Dengan demikian Ultra Petita bukan merupakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyimpang dari kebiasaan hukum, justru putusan Ultra Petita bertujuan menjaga hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional. Terlindunginya hak-hak asasi atau hak-hak konstitusional berarti telah mewujudkan maqasid syari’ah, yaitu melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi harta dan melindungi keturunan. Lahirnya sebuah keputusan hakim, tidak terlepas dari kewenangan hakim untuk melakukan ijtihad melalui metode-metode penafsiran yang terdapat di dalam kaidah hukum. Dalam Islam hakim mujtahid merupakan hakim yang mampu melakukan sebuah ijtihad dan dalam mengambil sebuah keputusan harus didasarkan atas keyakinannya. Apabila timbul suatu perkara yang memerlukan ijtihad, maka jika hakim dapat menemukan suatu hukum yang dengan ijtihadnya hendaklah hakim itu memegang hasil ijtihadnya, walaupun pendapatnya berlawanan dengan pendapat mujtahid-mujtahid yang lain. Bahkan dia tidak boleh mengambil pendapat orang lain, karena Allah mengharuskan hakim memutuskan perkara secara benar, menurut keyakinannya. Apabila hakim memperoleh sesuatu pendapat dikala dia sedang bermusyawarah dengan ahli-ahli hukum yang lain, sedang pendapat itu berlawanan dengan pendapat ahli-ahli hukum yang lain, maka hakim harus memutuskan perkara dengan hasil ijtihadnya sendiri, tidak boleh dia mengambil pendapat yang lain. Umar R.A. pernah menetapkan sebuah hukum, kemudian pada kali yang lain beliau memutuskan perkara yang sama, tetapi berbeda putusannya. Diwaktu orang bertanya kepadanya, beliau menjawab : dhaaka maa qadhainaa wa haadha maa naqdhii (yang dahulu adalah yang kami putuskan menurut dahulu dan ini adalah putusan kami sekarang ini). Hal demikian dapat dilakukan oleh para hakim konstitusi dalam melaksanakan hukum acara Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan yang mengadili perkara-perkara yang bersifat publik, sehingga jika dibatasi dengan aturan-aturan tidak diperbolehkannya mengeluarkan putusan yang memuat Ultra Petita maka Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengawal demokrasi secara menyeluruh dan tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penjaga konstitusi yang merupakan kesepakatan tertinggi dari bangsa Indonesia. Ketentuan larangan memutus melebihi apa yang dituntut (Ultra Petita) hanya dapat ditemukan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara di pengadilan perdata di Indonesia. Sedangkan di dalam hukum formil Mahkamah Konstitusi tidak terdapat pelarangan ataupun pembolehan untuk menerapkan putusan yang memuat Ultra Petita sehingga secara hukum formil Mahkamah Konstitusi di Indonesia memiliki kebebasan dalam memilih mengeluarkan putusan yang memuat Ultra Petita atau tidak mengeluarkannya tergantung pada hasil ijtihad yang dilakukan oleh para hakim konstitusi. Namun demikian terdapat prinsip akibat pengujian UU sebagai berikut: Pertama, akibat hukum pengujian bersifat erga omnes, oleh karena dasar hukum acara pengujian UU adalah menyangkut kepentingan umum. Berbeda dengan putusan lembaga peradilan selain Mahkamah Konstitusi yang hanya mengikat para pihak, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 BW). Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan berlaku ke depan sejak diucapkan (prospective) dan tidak berlaku surut ke belakang (retroactive). Ketiga, terikatnya semua orang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Keempat, dengan diucapkan putusan maka berkekuatan hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewijsde) tidak ada upaya hukum apapun untuk keberatan (Pasal 10 ayat (1) UU MK). Putusan final dan satu-satunya membedakan dengan putusan peradilan lainnya. Kelima, akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perUndang-Undangan lain terkait dengan UU yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat dan terhadap perkara yang berlangsung baik dalam proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan dan proses lainnya tidak diatur di dalam UU Mahkamah Konstitusi maupun PMK. Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi hanya menentukan: “Pengujian peraturan perUndang-Undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. 2. Teori Negara Hukum Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Indonesia merupakan sebuah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki konsekuensi bahwa dasar penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan atas aturan hukum. Konsep negara hukum telah termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Konsep negara hukum memiliki prinsip-prinsip yang berkembang menurut perspektif masing-masing ahli hukum. Adapun prinsip-prinsip negara hukum menurut Freidrich Julius Stal dengan istilah yang dia sebut dengan (rechstaat), yang mencakup empat elemen penting, yaitu: perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, peradilan administrasi negara dalam perselisihan. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: supremacy of Law, equality before the law, due Process of Law. Keempat prinsip yang dikembangkan oleh Freidrich Julius tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurists”, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang pada zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Secara terperinci Jimly Ash-Shiddiqie merumuskan kembali adanya dua-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya. Kedua-belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Supremasi hukum (Supremacy of Law) 2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law) 3. Asas legalitas (Due Process of Law) 4. Pembatasan kekuasaan (Limitation Of Power) 5. Organ-organ eksekutif independen 6. Peradilan bebas dan tidak memihak 7. Peradilan tata usaha negara 8. Peradilan tata negara (Constitutional Court) 9. Perlindungan hak asasi manusia 10. Bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat) 11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat). 12. Transparansi dan kontrol sosial. Selain konsep negara hukum sistem Civil Law (rechstaat), konsep negara hukum (rule of law), maka M. Tahir Azhari mengemukakan sembilan prinsip penting dalam negara hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Prinsip-prinsip tersebut dapat disebut sebagai nomokrasi Islam. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah: a. Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah b. Prinsip Musyawarah c. Prinsip Keadilan d. Prinsip Persamaan e. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-Hak Asasi Manusia f. Prinsip Peradilan Bebas g. Prinsip Perdamaian h. Prinsip Kesehteraan i. Prinsip Ketaatan Rakyat Dengan konsep negara hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas, menunjukkan bahwa Islam memiliki konsep dalam mengkaji negara hukum modern saat ini. Persoalan-persoalan yang muncul di era negara hukum modern seperti kontroversial putusan Ultra Petita, sebenarnya dapat diselesaikan dengan konsep Islam berdasarkan Al-Qur’an yang memiliki nilai-nilai universal dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dan kemasyarakatan . Melalui teori Fiqh Siyasah dan teori negara hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Islam dapat memberikan solusi guna memecahkan permasalahan Ultra Petita yang kian lama kian rumit di dalam praktik hukum di Indonesia. Selanjutnya penjabaran konsep Negara hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah akan dijelaskan dalam bab II pada Skripsi ini, yang mana penyusun akan memilih prinsip-prinsip tersebut yang terdapat relevansinya dengan kajian ini. Sebagai negara hukumm, UUD 1945 merupakan konstitusi Indonesia yang mengandung norma-norma general dan abstrak sehingga semua produk hukum dan penegakannya di Indonesia haruslah didasarkan pada pokok pikiran yang ada di dalam UUD 1945, sehingga kita mengenal istilah keadilan konstitusional (constitutional justice). Prinsip ini juga dapat menjadi penguji kebenaran hukum positif sekaligus menjadi arah hukum tersebut untuk dikristalisasikan dalam bentuk norma yang imperatif guna memperoleh keadilan yang sebenar-benarnya. Lebih spesifik lagi, tatkala UUD 1945 telah dijadikan hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menganut paham negara hukum. Maka secara otomatis salah satu prinsip utama di dalam pancasila yaitu sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, akan menjadi salah satu pijakan penting dalam menafsirkan dan melindungi norma-norma konstitusi. Oleh karenanya, menegakkan konstitusi sama artinya dengan menegakkan hukum dan keadilan. Dan sebaliknya, Dengan tercapainya keadilan akan memperkuat bangunan negara hukum di Indonesia. Sebab makna keadilan dalam pancasila mengandung prinsip bahwa setiap warga negara Indonesia harus memperoleh perlakuan yang adil diberbagai ranah kehidupan, mulai dari ranah hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia dapat dianalogikan dengan Al-Qur’an yang memiliki prinsip-prinsip universal dan nilai-nilai moral yang kemudian dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dalam syari’at Islam. Seperti halnya prinsip keadilan Al-Qur’an secara tegas menyatakan: إن الله يأمركم أن تؤد الأمنت إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكم با لعدل . إن الله نعما يعدكم به . إن الله كان سميعا بصيرا Ayat di atas dapat dipahami bahwa prinsip keadilan telah dinyatakan secara tersurat di dalam hukum dasar (konstitusi). Namun prinsip keadilan yang dimaksud masih merupakan prinsip yang bersifat universal seihingga perlu adanya penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan kondisi sosiologi masyarakat di negara tersebut. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardien of constitution) berwenang untuk menafsirkan konstitusi untuk menjaga stabilitas berbangsa dan bernegara. Dengan lahirnya putusan Ultra Petita menandakan adanya terobosan-terobosan para hakim konstitusi untuk mewujudkan stabilitas penyelenggaraan ketatanegaraan terutama di bidang penegakan hukum di Indonesia. Stabilitas penyelenggaraan ketatanegaraan dan terwujudnya penegakan hukum yang adil, dapat dilihat dari putusan-putusan para hakim yang mencakup keadilan subtantif berdasarkan hukum dasar (konstitusi) yang berlaku sebagai realisasi dari negara hukum yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penyusun adalah jenis penelitian pustaka atau library research, yaitu kegiatan pengumpulan data yang berasal dari berbagai literatur baik dari perpustakaan maupun tempat lain. 2. Sifat penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu menuturkan, menggambarkan dan mengklasifikasikan secara objektif data yang dikaji sekaligus mengintepretasikan dan menganalisis data tersebut. 3. Pendekatan penelitian a. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis adalah suatu pendekatan yang melihat keadaan sosial masyarakat yang kemudian dijadikan dasar untuk mengintepretasikan putusan Mahkamah Konstitusi. b. Pendekatan Yuridis Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam suatu penelitian dimana masalah-masalah yang akan dibahas berada di dalam bingkai peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. c. Pendekatan Normatif Pendekatan normatif adalah suatu pendekatan yang menilai kebenaran nilai-nilai hukum Islam berdasarkan atas Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Sumber Data Primer Data primer adalah data yang dijadikan bahan utama dalam melakukan penelitian, yaitu beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang tergolong putusan Ultra Petita. Perolehan data ini melalui pencarian di dalam dokumen putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. b. Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah data yang menjelaskan data primer. Data sekunder yang dimaksud adalah data mengenai Fiqh Siyasah dan data mengenai konsep negara hukum serta data-data yang lain sebagai penunjang dalam menjelaskan data primer. Sumber-sumber data sekunder ini diperoleh melalui kajian pustaka baik buku-buku, artikel-artikel, jurnal-jurnal, karya ilmiah, ensiklopedi maupun literatur-literatur lain yang relevan dengan skripsi ini. 5. Analisis Data Yang dimaksud dengan analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisis, mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang konkrit tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas. Dalam penelitian ini penyusun menggunakan analisis data yang meliputi: Induktif, yaitu metode berfikir dengan cara menganalisis data khusus yang mempunyai unsur-unsur persamaan untuk diambil satu kesimpulan umum. Dalam hal ini penyusun menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan Putusan Ultra Petita. G. Sistematika Pembahasan Di dalam penguraian skripsi ini penyusun akan membagi kedalam empat bab, yaitu: Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab Kedua, dalam bab ini akan diuraikan konsep Fiqh Siyasah dan konsep Negara hukum berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. BabKetiga, dalam bab ini akan diuraikan pengertian putusan Ultra Petita, pertimbangan-pertimbangan hukum oleh Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan putusan, dan beberapa jenis putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi hasil pengujian Undang-Undang, serta interelasi antara Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi dan Fiqh Siyasah. Bab keempat, yaitu bab terakhir yang merupakan bab penutup dalam skripsi ini yang berisi kesimpulan dan saran.

Selasa, 14 Agustus 2012

PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM PERSPEKTIF FIQH SIYASAH


ABSTRAK


Perdebatan mengenai kepastian hukum dan keadilan hukum hingga dewasa ini masih terus terjadi. Hal itu disebabkan adanya paradigma berpikir para ahli hukum yang dipengaruhi oleh konsep negara hukum. Terdapat dua konsep negara hukum yang mempengaruhi paradigma pemikiran tersebut. Konsep negara hukum tersebut adalah konsep negara hukum Common Law dan konsep negara hukum Civil Law. Kedua konsep ini sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan penyelenggaraan Negara. Berawal dari konsep negara hukum itu, kemudian lahirlah sebuah lembaga peradilan tata negara yang sering disebut Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Lembaga ini salah satu ciri negara hukum modern. Indonesia yang merupakan negara hukum sehingga pada Tahun 2003 lahirlah Mahkamah Konstitusi melalui UUD 1945 Pasal 24 dan Pasal 24 C. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi telah banyak mengeluarkan putusan-putusan baik putusan yang mengandung Ultra Petita maupun tidak. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memuat Ultra Petita inilah yang menjadi perdebatan sehingga penyusun berusaha mengkaji dan meneliti perdebatan tersebut melalui perspektif Fiqh Siyasah.
Adapun pokok masalah pada skripsi ini yaitu: “Bagaimana Pandangan Fiqh Siyasah terhadap Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi?”.
Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research). Sedangkan sifat penelitiannya adalah diskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan sosiologis, yuridis, dan normatif.
Penelitian ini menghasilkan  kesimpulan bahwa putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi boleh dilakukan menurut Fiqh Siyasah, selama putusan tersebut mengandung unsur kemaslahatan bagi kepentingan umum yang mencakup kemaslahatan dlaruriat, yaitu melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi harta, dan melindungi keturunan Dengan mengutamakan kemaslahatan, seluruh kebijakan yang diputuskan para pemegang kebijakan baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka dibenarkan oleh Islam. Karena ajaran syari’at Islam adalah kemaslahatan bagi umatnya bahkan seluruh alam semesta.