OTONOMI DAERAH
SETENGAH HATI
Oleh: Abdullah Fikri
Amandemen UUD 1945 yang disahkan secara
empat tahap, memberikan perubahan yang sangat besar bagi sistem ketatanegaraan
Indonesia. Salah satu perubahan yang sangat mempengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia
adalah perubahan dari sistem sentralistik menuju sistem desentralistik. Sistem
sentralistik dianggap sebuah sistem yang tidak demokratis. Hal tersebut
dikarenakan seluruh kegiatan pemerintah daerah ditentukan oleh
kebijakan-kebijakan pusat, sehingga daerah tidak dapat berekspresi sesuai
dengan keinginannya. Dengan adanya anggapan seperti itu, maka salah satu dampak
dari terjadinya reformasi adalah memberikan aturan mengenai otonomi daerah
dengan sistem desentralistik.
Apabila dikaji lebih mendalam, sistem
otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia menggambarkan sistem negara
federal. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (2), yang
memberikan kebebasan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, untuk
mengatur urusan pemerintahan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain
itu, dalam ayat (5), konstitusi telah memberikan otonomi yang seluas-seluasnya,
kecuali urusan yang ditetapkan menjadi urusan pemerintah pusat. Pernyataan “otonomi seluas-luasnya” dapat dimaknai bahwa
pemerintah daerah mengatur segala urusan yang ada di dalam derah itu tanpa
batas, tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Dalam konteks otonomi
daerah, pemerintah pusat hanya berwenang terhadap enam urusan yang ditetapkan
dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 10 ayat
(3). Keenam urusan tersebut adalah: politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan agama.
Meskipun daerah telah diberikan otonomi
yang seluas-luasnya, namun pemerintah pusat tidak begitu saja melepaskan
daerah-daerah untuk mengatur urusannya sendiri-sendiri. Pengawasan pemerintah
dilakukan dengan asas dekonsentrasi. Dekonsentrasi tersebut diserahkan kepada
pemerintah daerah provinsi yang bertugas untuk mengontrol pemerintah daerah
kabupaten dan kota sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Adanya
asas dekonsentrasi semacam itu, menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah daerah
provinsi tidak memiliki kewenangan apapun terhadap pemerintah kabupaten dan
kota. Secara geografis, pemerintah kabupaten dan kota jelas memiliki wilayah
yang menjadi wilayah kekuasaannya. Sedangkan pemerintah daerah provinsi secara
nyata tidak memiliki daerah kekuasaan, meskipun kabupaten dan kota yang berada
di dalamnya merupakan bawahan pemerintah daerah provinsi.
Namun, pemerintah provinsi tidak
memiliki kekuasaan terhadap wilayah kekuasaan kabupaten dan kota. Misalnya saja,
ketika pemerintah provinsi menginginkan penggalian tambang di suatu kabupaten,
maka tidak serta-merta pemerintah provinsi dapat melakukannya tanpa persetujuan
dari pemerintah kabupaten tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik
birokrasi dan konflik administrasi.
Posisi pemerintah provinsi yang demikian
itu, dapat dikatakan seperti macan ompong. Artinya, secara struktur
pemerintahan, pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan yang kuat, karena pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota berpedoman pada desentralisasi, sehingga
pemerintah daerah tersebut lebih berwenang terhadap wilayahnya dibandingkan
pemerintah provinsi. Jika sudah sepertiitu, maka eksistensi pemerintah provinsi
tidak diperlukan lagi, kecuali memiliki kekuasaan terhadap kabupaten dan kota.
Hal tersebut akan terjadi apabila provinsi tersebut berfungsi dan berwenang
seperti pemerintah pusat, (untuk tidak mengatakan sebagai negara bagian).
Dengan dekonsentrasi, pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam menerapkan
otonomi daerah. Oleh sebab itu, gagasan Republik Indonesia Serikat perlu
dibahas kembali.
Ada beberapa pertimbangan mengapa
Indonesia harus menjadi negara vederal, yaitu:
Pertama, ditinjau secara antropologis dan
sosiologis, Indonesia bukanlah negara yang memiliki kebudayaan yang homogen.
Sehingga budaya suatu daerah merupakan cerminan dari daerah itu sendiri bukan
merupakan cerminan dari Indonesia. Hiterogisitas kebudayaan dan adat istiadat
di berbagai daerah, sangat sulit untuk disatukan dan telah mengakar di dalam
masyarakat tersebut. Dengan demikian, negara tidak dapat menginterfensi
kebudayaan-kebudayaan yang ada, dan negara hanya sebatas sebuah wadah yang di
dalamnya telah ada pembatas-pembatas agar isi yang satu dengan yang lain tidak
tercampur.
Kedua, ekonomi yang tidak merata
menjadikan pertimbangan untuk terbentuknya sebuah negara Indonesia vederal.
Banyak daerah-daerah Indonesia yang memiliki kekayaan alam atau kekayaan dalam
bentuk lain yang dapat menyejahterakan masyarakat daerah tersebut. Namun yang
terjadi adalah potensi-potensi alam yang ada justru tidak membuat masyarakat
daerah tersebut menjadi sejahtera. Hal ini disebabkan karena campur tangan
pusat terhadap pengelolaan potensi-potensi daerah masih cukup besar. Campur
tangan tersebut dapat berbentuk kebijakan-kebijakan nasional yang sebenarnya
hanya untuk memperkaya para pejabat. Seperti contoh, pertambangan emas di Papua
yang sebenarnya sangat cukup untuk menyejahterakan masyarakat Papua, tetapi
justru masayrakat Papua tidak lebih baik dengan adanya pertambangan emas itu.
Hasil yang diperoleh dari penambangan tersebut, hanya dinikmati oleh para
pejabat, terutama Jakarta. Ini salah satu fenomena yang terjadi. Oleh sebab
itu, jika provinsi menjadi negara bagian, maka pengaturan terhadap
daerah-daerah di bawahnya secara teoritis akan semakin baik, karena tidak
dibebani oleh adanya mekanisme NKRI yang seolah-olah pemerintah pusat adalah
raja. Selain itu, regulasi yang akan dibuat bebas dari asas “lex superior
derogat legi inviori”. Artinya bahwa dengan bentuk NKRI, maka daerah-daerah
harus menyesuaikan dengan regulasi yang ada diatasnya. Jika daerah provinsi
sebagai negara bagian, maka asas tersebut tidak berlaku, sehingga terbebas dari
kepentingan-kepentingan pusat yang sekiranya regulasi itu merugikan
daerah-daerah. Dengandemikian, ekonomi dapat lebih merata untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat suatu wilayah.
Ketiga, SDM yang tidak merata. Dalam
konteks ini, yang dimaksud dengan pemertaan SDM adalah bahwa jumlah penduduk
terbanyak di Indonesia adalah di pulau Jawa. Hal ini terjadi karena banyaknya
pendatang dari berbagai daerah, baik bekerja, menuntut pendidikan, berpolitik di pusat, dan lain sebagainya,
sehingga mengakibatkan rasa nasionalisme kedaerahan tidak ada. Berbeda halnya
ketika suatu provinsi berubah menjadi sebuah negara bagian, yang mana
masyarakatnya akan memiliki nasionalisme terhadap negaranya. Sehingga masyarakat
tersebut akan berjuang demi negaranya. Misalkan saja dalam pendidikan, banyak
para siswa maupun mahasiswa dari daerah lain yang berdatangan ke Jawa untuk
menuntut ilmu. Perbedaan kualitas pendidikan ini pun sebenarnya merupakan
bentuk diskriminasi di dalam negara kesatuan. Setelah berpendidikan banyak
putra-putra daerah yang tidak kembali ke daerahnya untuk membangun daerahnya
masing-masing. Ini terjadi karena dimana pun siswa/mahasiswa berada, maka
siswa/mahasiswa masih tetap di negara Indonesia. Berbeda ketika sudah menjadi
negara bagian, meskipun siswa/mahasiswa berpendidikan di negara Jakarta, maka
siswa/mahasiswa akan kembali ke negaranya untuk membangun negaranya sendiri.
Dengan demikian, kualitas SDM yang baik tidak hanya berada di pulau Jawa yang
merupakan pusat pemerintahan, pusat pendidikan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penerapan otonomi daerah
yang setengah hati dan beberapa pertimbangan perlunya Indonesia menjadi
vederal, maka Indonesia sudah layak untuk menjadi negara vederal secara formal,
baik bentuk maupun sistemnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar