ANTARA KOALISI DENGAN KUALIFIKASI RESHUFFLE KABINET INDONESIA BERSATU II
Oleh: Abdullah Fikri
Maraknya pembicaraan mengenai akan direshuffle-nya beberapa menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menimbulkan banyak reaksi dari kalangan akademisi maupun praktisi hukum dan politik. Hal ini bukan suatu yang baru lagi dalam dunia perpolitikkan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam masa pemerintahan SBY pada periode pertama telah dilakukan reshuffle beberapa kali, namun kemajuan perkembangan masyarakat yang menyangkut kesejahteraan rakyat belum terlihat siknivikan. Sebuah pertanyaan muncul apakah reshuffle akan membuat rakyat sejahtera?. Hal tersebut yang seharusnya difikirkan oleh kalangan pemerintah dan parttai-partai politik yang berkoalisi. Tentunya dalam memilih dan menetapkan para pembantunya, presiden harus benar-benar menyeleksi dengan seksama. Apabila hal demikian tidak dilakukan maka reshuffle dan reshuffle saja yang terjadi tanpa menghiraukan kemajuan kesejahteraan rakyat.
Dalam penempatan menteri-menteri dalam KIB jilid II ini berdasarkan koalisi atau atas dasar kualifikasi? Secara politis presiden tentunya memilih secara kualisi karena agar posisi pemerintah tidak mendapat goncangan dari partai oposisi. Akan tetapi kualifikasi lebih profesional dibandingkan dengan koalisi. Apabila presiden menempatkan pembantunya atas dasar koalisi, maka yang terjadi adalah mengutamakan unsur politik, sedangkan apabila didasarkan atas kualifikasi maka profesionalitas dalam melaksanakan tugas-tugas kementerian dapat dilakukan dengan baik. Banyak sangkaan dari rakyat bahwa penilian yang SBY lakukan apakah serta-merta faktor profesionalitas dari para menteri atau semata-mata akan membangun politik pencitraan yang akhir-akhir ini banyak disoroti oleh para pengamat politik. Sebaiknya pemerintahan SBY Budiono tidak perlu lagi membangun politik pencitraan yang seakan-akan membohongi publik.
Pengalaman diperiode pertama seharusnya menjadi pembelajaran untuk dimasa yang akan datang. Masa yang akan datang itu tentunya pada masa pemerintahan SBY pada periode kedua ini. Namun pembagian kekuasaan masih saja terjadi terhadap partai-partai koalisi. Koalisi dan kualifikasi bisa dikatakan sulit untuk menerapkannya bagi orang-orang yang berpijak pada langkah-langkah politik. Akan tetapi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas bangsa apakah tetap mempertimbangkan unsur koalisi dalam menetapkan hasil reshuffelnya?. Reshuffle menteri tidak menjamin lahirnya kemajuan di dalam bangsa jika sistem yang buruk tidak dibenahi oleh orang-orang yang baik pula. Bagaimana nasib para petani yang masih jauh tertinggal akibat impor yang masih besar,bagaimana nasib para generasi bangsa yang masih bertindak anarkis dan amoral, bagaimana nasib para koruptor yang masih diberikan keleluasaan dalam menjalankan hukumannya dan tidak seimbang dengan perbuatannya. Artinya semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi aspek agraria, aspek pendidikan, aspek penegakkan hukum masih perlu dibenahi oleh sistem yang baik bukan semata-mata mementingkan kepentingan golongan dan partai.
Apabila kualifikasi dalam menentukan menteri-menteri yang akandireshuffle, maka kualifikasi ini akan menemukan format yang barru untuk melaksanakan tugas-tugasnya, karena dia memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya. Namun apabila koalisi masih dipertahankan maka yang terjadi bukan penempatan orang yang ahli dibidangnya, akan tetapi kecenderungan untuk membagi kursi terhadap partai-partai koalisi, Sehingga tidak memandang perlu disesuaikannya antara keahlian dengan jabatan yang akan diberikan.
Menurut penulis, bukan para menterilah yang harus direshuffle, akan tetapi bagaimana gaya kepemimpinan dari seorang presiden untuk menangani para pembantunya. Ketegasan dalam memenejemen para menteri sebelum diresavel hendaknya dijadikan evaluasi bagi presiden.Reshuffle memang hak prerogatif presiden, namun sebelum menetapkan haknya, kewajiban presiden haruslah bermuhasabah terhadap dirinya sendiri. Apakah periode masa lalu tidak dijadikan renungan bagi SBY? Seorang presiden yang telah diberikan kesempatan untuk memimpin kembali oleh rakyatnya, maka seharusnya SBY lebih bisa berbenah terhadap model kepemimpinannya tidak sekedarreshuffle-reshuffle terus-menerus yang merupakan gaya kepemipinan yang telah membudaya di dalam diri SBY. Gaya yang demikian akan menimbulkan pertanyaan pula apakah presiden mersavel karena atas dasar objektif atau karena faktor politis? Inilah yang harus dikritisi oleh para oposisi baik partai maupun kalangan yang lainnya yang berposisi pada oposisi terhadap pemerintah. Resavel bukanlah hal yang salah, akan tetapi gaya kepemimpinan yang sukamereshuffle inilah yang tidak baik, seakan-akan presidennya tidak mempunyai kesalahan terhadap rakyatnya. Jika para pembantu presiden saja sering direshuffle sejak periode pemerintahan SBY yang pertama,tentunya mereshuffle presiden bukan hal yang mengherankan. Namun bedanyapada presiden bukan direshuffle tetapi diberhentikan sesuai dengan aturan konstitusi yang berlaku. Masih memiliki waktu2,5 tahun untuk membenahi gaya pemerintahan SBY Budiono. Dengan demikian semoga saja reshuffle yang akan dilakukan oleh SBY merupakan reshuffle yang benar-benar qualivied untuk menjalankan roda pemerintahan sehingga kesejahteraan rakyat akan tercapai. Apabila tidak tercapainya kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, maka pemerintahan periode kedua SBY Budiono melanggar tujuan negara sesuai dengan preambul UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional untuk melakukan segala tindakkan berbangsa dan bernegara. Maka dari itu penulis berharap presiden benar-benar malakukan reshuffle atas dasar kualifikasi para calon menteri, bukan atas dasar partai koalisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar