Laman

Kamis, 22 Desember 2011

POLITIK HUKUM PIDANA ISLAM DAN PRPOLITIK HUKUM PIDANA ISLAM dan PROSPEKNYA DI INDONESIAPOLITIK HUKUM PIDANA



Hukum Islam di Indonesia merupakan sebuah perdebatan yang pnajang. Sehingga dalam penerapannya di Indonesia harus melihat kemaslahatan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Konsep Pemberlakuan Hukum Pidana Islam tidak lepas dari tujuan hukum Islam yang sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta (Bakri, 1996: 71).
Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawaid al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-kulliyyah alkhamsah (lima kebutuhan pokok). Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang tidak dinasakh (dihapus hukumnya) dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Di antara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman keras, larangan berzina, dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Dengan dasar ayat-ayat itulah, maka al- Syathibi pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya lima kebutuhan pokok bagi manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy (niscaya) dalam arti dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum (Djamil, 1997: 125-126).
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-Syathibi mengemukakan tiga peringkat maqashid al-syari’ah (tujuan syariat), yaitu pertama adalah tujuan primer (maqashid al-daruriyyah), kedua adalah tujuan sekunder (maqashid al-hajjiyyah), dan ketiga tujuan tertier (maqashid al-tahsiniyyah). Atas dasar inilah maka hukum Islam dikembangkan, baik hukum pidana, perdata, ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang lainnya (Juhaya S. Praja, 1991: 274). Diketahuinya tujuan-tujuan hukum Islam itu akan mempermudah ahli hukum dalam mempraktekkan hukum. Apabila ilmu hukum tidak dapat menyelesaikan hukum suatu peristiwa maka dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, setiap peristiwa hukum akan dengan mudah diselesaikan.
Pengkategorian yang dilakukan oleh al-Syathibi ke dalam tujuan primer, sekunder, dan tertier seperti di atas menunjukkan begitu pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengkategorian ini mengacu tidak hanya kepada pemeliharaan lima unsur, akan tetapi mengacu pula kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dengan mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat tujuan syariat tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum pidana Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhhab Khallaf memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pokok manusia dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Khallaf, 1978: 200-204):
1. Memelihara agama (hifzh al-din)
Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan antar manusia. Untuk menjaga dan memelihara kebutuhan agama ini dari ancaman musuh maka Allah mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi orang yang menghalangi dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga mensyariatkan shalat dan melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh memerangi orang yang murtad dan musyrik.
2. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs)
Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang kebinasaan (bunuh diri).
3. Memelihara akal (hifzh al-‘aql)
Untuk menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang memabukkan. Kalau larangan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal. Di samping itu, ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang yang meminum minuman keras.
4. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl)
Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini, akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk seratus kali.
5. Memelihara harta (hifzh al-mal)
Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta, misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam dengan hukuman potong tangan.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga eksistensi dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain, hukuman-hukuman itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan ancaman hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang yang diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya termasuk di Indonesia. Meskipun pada saat ini Indonesia belum menerapkan hal tersebut, akan tetapi usaha menerapkan sayri’at Islam pernah dilakukan oleh para founding father Indonesia. Hingga saat ini yang menjadi permasalahan di negara ini ialah politik hukum yang tak kunjung hilang.
Pertarungan idiologi kebangsaan dimulai sejak awal persiapan kemerdekaan negara Indonesia. Dimana kaum sekuler dan kaum religius saling mempertahankan idiologi yang akan diterapkan di negara Indonesia. Idiologi ini berupa penerapan syari’at Islam atuka bukan syari’at Islam. Hasil musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghasilkan sebuah piagam yang disebut dengan piagam Jakarta yang merupakan dasar negara untuk menerapkan syari’at Islam. Piagam Jakarta ini salah satu Silanya berbunyi “Ketuhanan yang Maha esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Namun sila ini mendapatkan kecaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan sila tersebut ada,  sehingga sejarah mencatat terjadi perubahan pada Sila pertama dengan menghapuskan tujuh kata dan berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan demikian sila tersebut hinggga saat ini berbunyi demikian. Perubahan secara tekstual pada sila pertama tersebut, merupakan kegagalan kaum nasionalis religius untuk mewujudkan negara Indonesia yang bersyari’atkan Islam. Namun para founding father tidak berhenti sampai pada konsep Pancasila, akan tetapi para politisi nasionalis religius mengusahakan agar secara formil syari’at Islam diterapkan sehingga pada masa orde baru lahirlah Inpres tahun 1991 yang menerbitkan Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya terdapat tiga buku mengenai hukum perdata Islam yaitu buku I tentangperkawinan,  buku II tentang Kewarisan, buku III tentang wakaf.
Lahirnya KHI tersebut juga dianggap Indonesia belum menerapkan syari’at Islam karena belum mengatur secara formil mengenai jinayat atau hukum pidana Islam. Konstilasi politik hukum sangat dominan dalam penetapan KUHP tentang hukum pidana secara Islam formil. Terdapat dua aliran mengenai penerapan hukum Islam, yaitu aliran jawabir yang berpendapat bahwa hukum Islam harus diterapkan sesuai dengan nash. Sedangkan aliran zawabir berpendapat bahwa hukum Islam tidak diterapkan secara formil akan tetapi hanya substansinya saja dan bertujuan agar orang lain menjadi jera. Hukuman yang diterapkan bukan hukuman had akan tetapi diganti dengan hukuman yang lain sebagai pengganti hukuman had, misal dengan hukuman penjara. Jika kita fahami bersama, bahwa konsep pemidanaan yang terdapat di dalam KUHP sebenarnya tidak sesuai dengan keadaan sosial masyarakat dan juga tidak sesuai dengan filosofis bangsa. Dua aspek dalam menentukan suatu yuridis tersebut apabila telah tidak sesuai maka tidak layak untuk dijadikan sebagai aturan atau norma-norma yang harus diinternalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila hal ini tidak diatur sesuai dengan hukum Islam, maka pergaualan bebas dikalangan para generasi tidak akan berhenti karena delik perzinahan yang memiliki penertian yang terbatas. Suatu hal yang niscaya apabila hukum Islam masuk dalam aturan formil.
Seperti contoh, delik perzinahan pada KUHP tidak sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim karena dalam delik tersebut yang disebut zinah ketika salah satu dari pelaku telah terikat oleh ikatan perkawinan. Sedangkan dalam jarimah zinah ditentukan bagi siapapun yang melakukan hubungan suami isteri yang tidak terikat oleh ikatan pernikahan dan terdapat pembagian muhshon dan ghairumuhshon.
Teori politik hukum mengatakan, bahwa dalam suatu negara demokrasi maka hukum akan bersifat responsif. Berdasarkan teori tersebut, maka bila negara Indonesia merupakan negara demokratis maka aturan-aturan hukum yang berlaku bersifat responsif, artinya hukum yang memang sesuai dengan filosofis dan sosiologis kebangsaan. Kuatnya kepentingan-kepentingan politik menyebabkan kepentingan hukum yang hakiki tersingkirkan sehingga menjadikan RUU tentang hukum Islam tidak segera terselesaikan. Disamping faktor politik, proses positifisasi hukum Islam ini juga memiliki hambatan secara hukum.  Qanunisasi atau pengundangan hukum Islam di negeri ini, paling tidak, dapat terbentur empat hal, yaitu:
Pertama, diperlukan transfer "bahasa" syariat Islam yang terdapat dalam Alquran, hadis, dan kitab-kitab fiqh ke dalam bahasa undang-undang. Itu bukan pekerjaan mudah, mengingat bahasa merupakan bagian dari budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa undang-undang berbeda dengan bahasa kitab kuning. Hal itu membutuhkan kerja sama yang luar biasa dari pakar hukum umum dan pakar hukum Islam untuk menyamakan "bahasa". Sebagai contoh, kata "subversi" dan "hirabah" atau "bughat" tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses "tansfer bahasa".
Kedua, bukan saja bahasa yang merupakan produk budaya, tetapi hukum juga bagian dari budaya tertentu. Setting sosial hukum Islam saat Nabi bermukim di Madinah 15 abad yang lampau dan suasana sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik saat para a’immatul mazahib (para imam mazhab) hidup jelas berbeda dengan suasana Indonesia saat ini. Itu bisa membuat sebuah pasal yang diambil mentah-mentah dari sebuah aturan hukum ratusan bahkan ribuan tahun lalu berbenturan dengan dinamika dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Contohnya, konsep aqillah dalam pidana Islam sangat dipengaruhi struktur keluarga dan klan jazirah Arab. Karena itu, denda dalam tindak pidana bukan saja ditanggung oleh terpidana, tetapi juga oleh keluarga atau sukunya. Aturan denda dalam fiqh Islam yang masih menyebutkan ganti rugi dalam bentuk onta, misalnya, akan musykil diterapkan untuk konteks Indonesia.
Ketiga, andaikata terjadi benturan konsep antara pidana Islam dan pidana Barat, mana yang akan diterima pemerintah dan DPR? Ketika terjadi sebuah pembunuhan tidak disengaja, dalam konsep pidana Barat, negara akan bertindak mewakili korban dalam menuntut pembunuh tersebut. Walaupun -seandainya- keluarga korban sudah memaafkan si pembunuh, negara akan tetap membawa kasus tersebut ke pengadilan. Dalam pidana Islam, penerimaan maaf dari keluarga korban dapat menggugurkan tuntutan pidana. Begitu pula tindak pidana pencurian, menurut Imam Syafi’i, dapat gugur jika sang pencuri bertobat dan mengembalikan harta curiannya -selama kasusnya belum sampai meja hakim. Pengembalian Rp 40 miliar dalam Buloggate II saat kasusnya masih di kejaksaan dapat menggugurkan proses hukum selanjutnya, jika pidana Islam diterapkan dalam kasus ini. Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan: potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (lihat Tafsir Fakh al-Razi, juz XI, h. 228) atau menurut ulama  lain menafkahkannya di jalan Allah (lihat Tafsir Ruh al-Ma’ani, juz VI, h. 135). Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa unsur tobat dan maaf mendapat porsi yang cukup luas dalam pidana Islam. Tentu saja, hal itu tidak berlaku dalam pidana Barat.
Keempat, lazim diketahui bahwa fiqh Islam dipahami berbeda-beda di kalangan mazhab-mazhab yang ada (Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali, Zahiri, Ja’fari, dan yang lain). Bahkan, perbedaan pendapat bukan saja terjadi antarmazhab, tetapi dapat juga terjadi di lingkungan satu mazhab (katakanlah, di antara sesama murid Imam Abu Hanifah). Persoalannya, mazhab mana yang akan dipilih pemerintah sebagai bahan RUU KUHP?.
Proses positifisasi hukum Islam apabila tidak dilaksanakan secara kolektif oleh partai politik Islam yang merupakan insturmen politik dalam menentukan suatu kebijakan, maka proses positifisasi hukum Islam tersebut akan tertnda terus-menerus. Oleh karena itu faktor politik atau kekuasaan sangat mendukung untuk  lahirnya sebuah undang-undang hukum pidana Islam. Bila melihat pada teori Islam dan politik, maka terdapat tiga aliran yang berpendapat. Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna (kafah) dan lengkap (kamilah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap (al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah). Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Konsekuensi dari aliran ketiga itu, melahirkan pemahaman bahwa istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi kaum Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt, maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja.
Perdebatan Islam dan politik ini pun memppengaruhi pemikiran terhadap positifisasi hukum Islam di Indonesia. Sebagai negara yang bukan negara Islam Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menerapkan syari’at Islam secara formil. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Islam seharusnya memiliki kekuasaan untuk menentukan langkah-langkah politik dalam usaha menerapkan hukum Islam secara formil. Untuk menerapkan hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia harus memenuhi unsur-unsur umum yang ada pada unsur-unsur jarimah, diantaranya adalah:
a.       Unsur formil (adanya undang-undang). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang mengaturnya.
b.      materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap dengan tidak berbuat. Unsur ini dalam pidana hukum Islam disebut dengan arrukn almadi.
c.       Unsur moril (pelakunya mukalaf). Artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syari’at Islam unsur moril disebut dengan arrukn aladabi.
Dari ketiga unsur diatas, unsru formil inilah yang seharusnya diterapkan. Dengan diterapkannya unsur formil ini, maka unsur-unsur yang lain dapat mengikuti. Melihat dari sifatnya, hukum pidana Islam lebih bisa bersifat preventif dan represif karena dalam jinayat lebih keras daripada hukum positif yang sekarang berlaku. Usaha memformulasikan hukum Islam dalam hukum nasional masih diperjuangkan para kaum formalis untuk dapat mewujudkannya. Namun dilain sisi para legislator yang memiliki fungsi legislasi lebih memilih membahas RUU yang lebih bersifat politis dan menguntungkan bagi mereka yang berkecimpung dalam kepentingan-kepentingan indifidual maupun golongan.
Adapun asas-asas dalam hukum Islam bersumber pada alqur’an sehingga tidak diragukan lagi kebenarannya karena merupakan hukum Tuhan.  Selain kebenarannya yang tidak terbantahkan, hukum Islam dapat memberikan efek jera yang lebih efektif dibanding dengan hukuman penjara yang diterapkan.banyaknya terpidana yangdihukum penjara, menandakan bahwa hukum positif yang berlaku tidak efektif dalam memberikan efek jera. Asas-asas yang terkandung di dalam hukum Islam adalah:
a.       Asas legalitas. Asas ini di dalam syari’at Islam tidak secara tegas dinyatakan seperti di dalam KUHP, akan tetapi secara substansial terdapat kaidah-kaidah yang mengandung asas legalitas. Sumber asas legalitas tercantum pada ayat Alqur’an yang menyatakan “Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul” Alisra’ (15), Q-S Alqasas (59), Q-S Al’anam (19), Albaqara (286). Ayat-ayat tersebut menyatakan adanya asas legalitas dalam hukum Islam. Dengan demikian hukum Islam memiliki prospek yang baik untuk menjadi hukum nasional Indonesia.
Penerapan asas legalitas tidak dapat dilaksanakan apabila nas-nas yang ada di dalam syari’at Islam diundangkan dan diketahui orang banyak.
b.      Asas tidak berlaku surut:
Hukum pidana Islam pada prinsipnya tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan kaidah laa raj’iyyah fi attasyri’ aljina’i yang artinya tidak berlaku surut pada hukum pidana islam,. Sebelum adanya nas yang melarang perbuatan, maka tindakan mukalaf tidak bisa dianggap suatu jarimah. Kendati demikian ada beberapa jarimah yang berlaku surut karena apabila tidak diberlakukan surut akan terjadi kekacaan dikalangan kaum muslim.
c.       Asas praduga tak bersalah:
Suatu konsekwensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tidak bersalah. Menurut asas ini, semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nas hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahatkecuali dibuktikan kesalahannya, pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika suatu keraguan yang beralasan muncul,seorang tertutuduh harus dibebaskan.
Berdasarkan asas-asas tersebut, bukan suatu alasan lagi bahwa hukum pidana Islam tidak sesuai dengan keadaan negara Indonesia. Pertarungan politik dalam rangka menerapkan hukum Islam seharusnya diminimalisir agar tidak terjadi keberlarutan dalam proses positifisasi hukum Islam di Indonesia. Jika para praktisi hukum Islam maupun para akademisi hukum Islam berpandangan bahwa yang terpenting adalah substansi hukum Islam yang diterapkan, maka hal tersebut tidak akan bisa diperoleh. Jika golongan penganut positifisasi hukum Islam harus diterapkan, maka hal tersebut akan memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum. Dengan demikian menurut penulis antara substansi dan formulasi harus berjalan seimbang. Analogi dari perdebatan ini adalah pelaksanaan shalat, yaitu bisakah disebut dengan shalat apabila kita tidak melakukan gerakan-gerakan shalat?. Jika hanya melandaskan pada substansinya maka shalat adalah doa dan doa bisa dilakukan dengan hanya mengucapkan saja tanpa melaksanakan gerakan-gerakan shalat. Hal tersebut sama halnya dengan penerapan hukum Islam formulasi hukum hendaknya nyata danmencakup  substansi hukum Islam.  






BAB III
KESIMPULAN
Politik hukum pidana Islam adalah suatu tindakan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif serta yudikatif untuk membuat seperangkat peraturan-peraturan negara tentang kejahatan yang didasarkan pada aturan-aturan hukum Islam sesuai dengan alqur’an dan assunnah.
Kendala-kendala yang dihadapi golongan yang menginginkan adanya secara formil hukum Islam ialah keadaan politik dan benturan tentang hukum itu sendiri. Dalam penerapan hukum Islam setidaknya akan menemui benturan-benturan: Pertama, diperlukan transfer "bahasa" syariat Islam yang terdapat dalam Alquran, hadis, dan kitab-kitab fiqh ke dalam bahasa undang-undang. Itu bukan pekerjaan mudah, mengingat bahasa merupakan bagian dari budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa undang-undang berbeda dengan bahasa kitab kuning. Hal itu membutuhkan kerja sama yang luar biasa dari pakar hukum umum dan pakar hukum Islam untuk menyamakan "bahasa". Sebagai contoh, kata "subversi" dan "hirabah" atau "bughat" tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses "tansfer bahasa".
Kedua, bukan saja bahasa yang merupakan produk budaya, tetapi hukum juga bagian dari budaya tertentu. Setting sosial hukum Islam saat Nabi bermukim di Madinah 15 abad yang lampau dan suasana sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik saat para a’immatul mazahib (para imam mazhab) hidup jelas berbeda dengan suasana Indonesia saat ini. Itu bisa membuat sebuah pasal yang diambil mentah-mentah dari sebuah aturan hukum ratusan bahkan ribuan tahun lalu berbenturan dengan dinamika dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Contohnya, konsep aqillah dalam pidana Islam sangat dipengaruhi struktur keluarga dan klan jazirah Arab. Karena itu, denda dalam tindak pidana bukan saja ditanggung oleh terpidana, tetapi juga oleh keluarga atau sukunya. Aturan denda dalam fiqh Islam yang masih menyebutkan ganti rugi dalam bentuk onta, misalnya, akan musykil diterapkan untuk konteks Indonesia.
Ketiga, andaikata terjadi benturan konsep antara pidana Islam dan pidana Barat, mana yang akan diterima pemerintah dan DPR? Ketika terjadi sebuah pembunuhan tidak disengaja, dalam konsep pidana Barat, negara akan bertindak mewakili korban dalam menuntut pembunuh tersebut. Walaupun -seandainya- keluarga korban sudah memaafkan si pembunuh, negara akan tetap membawa kasus tersebut ke pengadilan. Dalam pidana Islam, penerimaan maaf dari keluarga korban dapat menggugurkan tuntutan pidana. Begitu pula tindak pidana pencurian, menurut Imam Syafi’i, dapat gugur jika sang pencuri bertobat dan mengembalikan harta curiannya -selama kasusnya belum sampai meja hakim. Pengembalian Rp 40 miliar dalam Buloggate II saat kasusnya masih di kejaksaan dapat menggugurkan proses hukum selanjutnya, jika pidana Islam diterapkan dalam kasus ini. Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan: potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (lihat Tafsir Fakh al-Razi, juz XI, h. 228) atau menurut ulama  lain menafkahkannya di jalan Allah (lihat Tafsir Ruh al-Ma’ani, juz VI, h. 135). Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa unsur tobat dan maaf mendapat porsi yang cukup luas dalam pidana Islam. Tentu saja, hal itu tidak berlaku dalam pidana Barat.
Keempat, lazim diketahui bahwa fiqh Islam dipahami berbeda-beda di kalangan mazhab-mazhab yang ada (Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hanbali, Zahiri, Ja’fari, dan yang lain). Bahkan, perbedaan pendapat bukan saja terjadi antarmazhab, tetapi dapat juga terjadi di lingkungan satu mazhab (katakanlah, di antara sesama murid Imam Abu Hanifah). Persoalannya, mazhab mana yang akan dipilih pemerintah sebagai bahan RUU KUHP?.


DAFTAR PUSTAKA
Assidiqie, Jimly, Konstitusi & konstitusionalisme Indonesia, Jakarta :kon press
Munajat, Makhrus, Fikih Jinayah (Hukum Pidana Islam), edisi revisi, Yogyakarta : pesantren Nawasea Press, 2010.
Mohammad Daud Ali. 1989. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”. Dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES.
Syaltout, Mahmud. (1966). Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar al-Qalam. Cet. III.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. IX.
Salim, M. Arskal. 2001. “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi
Al-Mawardi, Imam, Al-Ahkam Asulthaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam, Jakarta: Darul Falah, 2006, Cet. 2




Tidak ada komentar:

Posting Komentar